"Ustaz, aliran Islam mana yang paling benar?" tanya seorang pemuda berkopiah putih di tengah majelis. Suasana pengajian mendadak hening, hanya suara kipas angin tua yang terdengar.
Ustaz itu tersenyum tipis, menarik napas panjang sebelum menjawab, "Tentu aliran yang saya ajarkan ini. Karena inilah jalan yang lurus, satu-satunya yang akan menyelamatkan kalian di akhirat nanti."
Aku, yang duduk di barisan belakang, mengerutkan kening. Jawaban itu terasa mutlak, seperti menutup ruang bagi pemikiran lain. Aku teringat ceramah Quraish Shihab yang kutonton di televisi seminggu lalu. Ketika mendapat pertanyaan serupa, beliau menjawab dengan tenang, "Semua boleh jadi benar, karena manusia hanya berusaha memahami Tuhan lewat keterbatasan mereka."
Setelah pengajian selesai, aku mendekati pemuda tadi. "Apa menurutmu jawaban ustaz tadi masuk akal?" tanyaku.
Dia menatapku dengan mata berbinar, penuh keyakinan. "Tentu saja, Mas. Kalau nggak percaya sama ustaz, ke mana lagi kita harus mencari kebenaran?"
Aku terdiam. Dalam hati, aku mengingat kutipan Gus Dur: "Radikalisme muncul karena orang lupa bahwa pluralisme adalah kehendak Tuhan." Keyakinan absolut seperti ini, tanpa ruang untuk berdialog, justru mengikis kedalaman iman dan merusak harmoni. Pluralisme bukanlah ancaman, melainkan cara Tuhan menunjukkan kekayaan ciptaan-Nya. Jika ini dilupakan, kita hanya akan melahirkan lebih banyak sekat daripada pemahaman.
Komentar
Posting Komentar