Dalam memahami Tuhan, manusia sering terjebak pada dikotomi antara iman dan logika. Sebagian menerima Tuhan sebagai dogma yang tak perlu dipertanyakan, sementara yang lain menolak keberadaan-Nya karena tak terukur oleh sains. Tuhan, dalam pendekatan rasional, bukanlah entitas yang dapat dijelaskan melalui mistik atau keajaiban semata. Ia adalah konsep yang lahir dari kebutuhan manusia untuk memahami apa yang tak terpahami.
Dalam sejarahnya, manusia menciptakan Tuhan sebagai jawaban atas fenomena alam yang dulu sulit dinalar. Petir, hujan, kelahiran, kematian—semua itu dikaitkan dengan kekuatan adikodrati. Namun, seiring berkembangnya sains, penjelasan rasional menggantikan sebagian dari "mukjizat" ini.
Namun, apakah berarti Tuhan tidak ada? Tidak sesederhana itu. Tuhan tetap menjadi simbol perjuangan manusia untuk memahami makna hidup. Ia adalah ide yang terus berkembang, mengikuti kemampuan akal manusia. Konsep Tuhan tidak boleh digunakan untuk membatasi pemikiran, melainkan sebagai pemicu untuk terus menggali dan mencari kebenaran.
Keyakinan akan Tuhan harus dikontekstualisasikan. Jika Tuhan hanya menjadi alat kekuasaan atau justifikasi atas ketidakadilan, maka konsep itu harus dilawan. Tuhan, jika Ia ada, harus dipahami melalui pendekatan kritis: terus diuji, ditantang, dan dipertanyakan. Sebab hanya dengan begitu, manusia bisa menemukan makna sejati di balik gagasan besar ini.
Tuhan bukanlah akhir dari pencarian manusia, melainkan awal dari upaya memahami hidup dengan akal sehat yang tetap terbuka pada kemungkinan tak terjelaskan. Tuhan bukan musuh rasio, melainkan teman dalam perjalanan panjang menuju kebenaran.
Komentar
Posting Komentar