Perdebatan tentang Tuhan selalu bergerak di antara logika, fakta, dan realita. Sejak zaman filsuf Yunani, pertanyaan ini tak pernah benar-benar selesai. Apakah Tuhan ada sebagai entitas nyata, atau hanya gagasan manusia untuk menjelaskan ketidakpastian hidup?
Secara logis, banyak filsuf berusaha membuktikan keberadaan Tuhan. Anselmus misalnya, lewat ontological argument, menyatakan bahwa jika kita bisa membayangkan sosok yang paling sempurna, maka ia harus ada, sebab sesuatu yang sempurna tidak mungkin hanya ada dalam pikiran. Sebaliknya, David Hume menolak argumen itu. Baginya, alam semesta bisa dijelaskan tanpa harus menunjuk Tuhan sebagai sebab pertama. Bertrand Russell bahkan lebih tajam: “Saya tidak percaya pada Tuhan dan keabadian; saya menganggap tidak ada cukup bukti untuk mendukungnya.”
Namun, fakta sosial menunjukkan sesuatu yang lain. Umat manusia terus menyembah, berdoa, dan beribadah. Di masjid, gereja, pura, atau vihara, jutaan orang setiap hari melaksanakan ritual untuk mendekat pada Tuhan. Realitanya, agama menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan, memberi makna sekaligus identitas.
Ambil contoh sederhana: seorang petani di desa kecil yang gagal panen. Dengan logika, ia tahu penyebabnya adalah hama. Dengan fakta, ia bisa belajar dari buku pertanian atau penyuluhan. Tapi realitanya, setelah semua usaha, ia tetap datang ke rumah ibadah, menengadahkan tangan, dan memohon pertolongan Tuhan. Bagi dia, doa adalah pelengkap dari logika dan fakta.
Maka, filsafat mengajarkan kita untuk jujur melihat tiga sisi ini. Logika memberi argumen, fakta memberi bukti, realita menunjukkan praktik hidup. Tuhan mungkin tak bisa dibuktikan secara matematis, tapi realita keberagamaan membuktikan bahwa konsep-Nya hidup dalam kesadaran manusia. Seperti kata Blaise Pascal, “Hati punya alasan yang tidak dikenal oleh akal.”
Komentar
Posting Komentar