Ketika mbak SPBU bilang, “Seratus ribu, ya, Pak,” dunia langsung berhenti sepersekian detik. Aku merogoh kantong celana—dan justru menemukan kehampaan. Karena uang itu tidak ada, seluruh rencana soreku langsung berantakan. Mau isi bensin, jemput anak les bahasa Inggris, lalu pulang tenang—semuanya runtuh hanya gara-gara selembar kertas biru yang hilang entah ke mana.
Aku cek kantong belakang. Nihil. Karena panik, aku membongkar jaket sambil berdiri kikuk, membuat orang belakang mulai gelisah. Karena tidak mungkin mundur dari antrean, aku akhirnya bayar dengan koin receh cadangan. Malu? Tentu. Tapi terpaksa.
Dalam perjalanan, rasa penasaran menggerogoti. Karena otak tidak bisa menerima kenyataan kehilangan itu, aku menepi dan menyusuri jalan yang tadi kulewati. Angin sore menerpa wajah, dan setiap daun yang bergerak seperti mengejek: “Uangmu jatuh ke mana, hah?” Hasilnya nol besar.
Sampai rumah, aku langsung mengobrak-abrik semua sudut. Karena pikiranku bersikeras uang itu pasti ‘terselip’, aku bahkan memeriksa kulkas dan tempat cucian—dua lokasi absurd yang kupaksa masuk akal karena sudah desperat. Tetap tidak ketemu.
Di tengah rasa jengkel, aku teringat kutipan Mark Twain: “The lack of money is the root of all evil.” Dan justru karena kehilangan itulah, aku menghela napas panjang lalu tertawa kecil—ya, benar juga, segini saja sudah bikin hidup bergejolak.
Malam harinya aku menulis di jurnal:
“Hari ini kehilangan seratus ribu, tapi menemukan bahwa kesabaran ternyata lebih mahal. Karena uang bisa dicari, namun kemampuan menertawakan nasib sendiri tidak dijual di minimarket.”
Akhirnya aku belajar: kadang Tuhan sengaja menjatuhkan seratus ribu dari kantong kita, supaya hati kita tidak ikut jatuh waktu kehilangan hal yang lebih besar nanti.
Komentar
Posting Komentar