Jika Anda hari ini sudah bekerja di suatu perusahaan atau wirausaha, dan sudah memiliki suami/istri dan anak.
Pencapaian kebahagiaan hidup yang seperti apa yang Anda inginkan dan Anda bayangkan?
Mari kita perkiraakan, dulu saat masih sekolah atau kuliah mau bisa lulus, setelah itu mau dapat pekerjaan, mencari kesana kemari, dapat pekerjaan dan tidak berhenti disitu, meningkatlah keinginan untuk mendapatkan penghasilan lebih besar.
Masih jomblo, cari jodoh dan dapat, menikah, muncul lagi keinginan baru mau punya anak. Belum punya rumah, menabung, setelah dapat sibuklah membangun rumah beserta isinya. Tidak berhenti disitu, ada lagi ingin punya mobil, ambil kredit dan menghutanglah ke bank, menyicilnya tiap bulan.
Begitulah kira kira segelintir pencapaian dalam mengukur kebahagiaan hidup melalui usaha yang ia tempuh. Tidak ada ujung kepuasannya, membandingkan dengan orang lain yang posisinya ada di atas.
Kesederhanaan dan rasa syukur dapat menjadi upaya awal untuk bisa mengendalikan keserakahan di atas. Mengapa saya katakan keserakahan, sebab hawa nafsu dalam mengukur kebahagiaan hidup secara materialistis akan menuntut diri untuk serakah dan maunya lebih, tidak pernah cukup.
Kemudian saya katakan kesederhanaan dan rasa syukur adalah awalan, oleh karena dalam pola lingkaran keserakahan yang berputar putar tidak ada ujungnya, harus ada penambahan konten akhlak lainnya agar dapat mengendalikannya dalam takaran yang baik.
Selama pencapaian itu tetap menjadi tujuan hidup, maka ukuran kepuasaan akan kebahagiaan menjadi seperti mata air fatamorgana di tengah gurun pasir. Nampaknya nyata membahagiakan, namun menipu diri dan tidak ada puas puasnya.
Kita sendiri yang mampu mengendalikannya dalam batasan batasan yang kita punya. Jangan berlebihan, sederhana, dan yang penting cukup.
Serang, 28012018
Roby Martin
Komentar
Posting Komentar