Kecemasan itu sering datang tiba-tiba, seolah nggak ada angin, nggak ada hujan, tapi jantung mendadak deg-degan, pikiran kemana-mana. Rasanya seperti dikejar sesuatu, padahal kita lagi duduk diam. Salah satu cara sederhana tapi sering diremehkan untuk meredakannya adalah: mengamati pikiran. Mengamati pikiran bukan berarti menolak atau mengusirnya. Tapi duduk tenang, lalu melihat pikiran itu seperti awan yang lewat. Kita jadi penonton, bukan pemain. Psikolog seperti Jon Kabat-Zinn menyebut ini sebagai mindfulness, yaitu hadir utuh di momen sekarang tanpa menghakimi. Dan ternyata, ini ampuh untuk gangguan kecemasan, karena kita diajak berhenti bereaksi dan mulai menyadari. Osho, lewat meditasi aktifnya, bilang: "Jangan perangi pikiranmu. Biarkan mereka lewat. Duduk saja dan saksikan. Dalam pengamatan itu, muncul kebebasan." Kita diajak untuk tidak melawan pikiran, tapi berdamai dengannya. Masalahnya, kebanyakan dari kita terlalu sibuk terlibat dalam isi pikiran. Kita percaya ba...
Nggak semua luka kelihatan bentuknya. Kadang, yang paling dalam justru nggak berdarah, tapi membekas di dalam hati sejak kecil. Luka batin di masa kecil — entah karena dimarahi tanpa alasan, dibanding-bandingkan, diabaikan, atau dituntut sempurna — seringnya nggak selesai di masa itu. Ia ikut tumbuh, diam-diam, dan tiba-tiba muncul lagi saat kita dewasa. Inner child adalah bagian dari diri kita yang membawa emosi, pengalaman, dan persepsi masa kecil. Psikolog dan praktisi parenting seperti Najelaa Shihab dan Seto Mulyadi (Kak Seto) pernah bilang, masa kanak-kanak adalah fondasi utama karakter dan mentalitas seseorang. Kalau masa itu penuh luka dan nggak pernah diakui atau disembuhkan, maka di masa dewasa kita mudah merasa overthinking, sulit percaya orang lain, atau gampang marah tanpa tahu kenapa. Contohnya, orang yang dulu sering dimarahi karena menangis bisa tumbuh jadi orang dewasa yang menahan-nahan perasaan dan merasa bersalah saat sedih. Atau yang dulu sering dibandingkan, sekar...