Kadang aku nggak habis pikir. Pejabat digaji 100 juta sebulan, fasilitas segalanya lengkap, sementara rakyat disuruh hemat, disuruh bayar pajak, disuruh “sabar demi negara”. Rasanya kayak lagi ngelihatin orang kaya raya makan enak di meja panjang, lalu kita dikasih tulang dan dibilang, “udah syukuri aja, ya.”
Aku lihat berita anggota dewan joget-joget, ketawa-ketawa, seolah nggak ada masalah. Padahal di luar gedung megah itu, ada bapak-bapak bingung nyari uang buat beli beras, ada ibu-ibu yang rela ngutang demi bayar sekolah anaknya, ada anak-anak tidur dengan perut kosong. Sakit banget lihat kontrasnya.
Kita disuruh patuh aturan, disuruh nurut bayar pajak. Tapi uang pajak itu sering nggak balik ke rakyat. Malah habis buat gaji dan fasilitas mereka yang sudah hidup mewah. Apa mereka pernah benar-benar mikirin gimana rasanya rakyat kecil bertahan di harga-harga kebutuhan yang terus naik?
Jujur, aku capek dengar kata-kata manis: “demi kepentingan bangsa, mari kita berhemat.” Karena faktanya, yang berhemat ya cuma kita. Yang berkorban ya cuma kita. Mereka? Masih asik dengan kursi empuk, gaji besar, bahkan sempat joget bareng.
Refleksi akhirnya pahit: mungkin di mata pejabat, rakyat itu bukan prioritas. Rakyat cuma angka, cuma pajak yang harus dibayar, cuma suara yang dibutuhkan tiap lima tahun sekali.
Komentar
Posting Komentar