Di jalanan, suara massa bergemuruh. Poster-poster diangkat tinggi, teriakan tuntutan menggema, dan di tengah kerumunan itu ada yang tumbang. Seorang demonstran, yang datang dengan niat menyuarakan kegelisahan rakyat, justru pulang tinggal nama. Korban jiwa dalam aksi demo bukan lagi sekadar berita, melainkan luka kolektif bangsa. Luka yang tak hanya menimpa keluarga korban, tetapi juga merobek rasa keadilan masyarakat.
Di sisi lain, tindakan aparat yang seharusnya mengayomi justru memicu amarah. Gas air mata ditembakkan sembarangan, pentungan diayunkan tanpa pandang bulu. Arogansi aparat semakin menegaskan jurang antara rakyat dan negara. Bukannya menenangkan situasi, kekerasan itu malah menyulut api yang lebih besar.
Tak heran bila kemarahan publik kemudian meluap. Rumah anggota DPR menjadi sasaran penjarahan, simbol kekecewaan terhadap wakil rakyat yang dianggap tuli terhadap jeritan rakyat. Bagi sebagian orang, tindakan itu mungkin salah. Tetapi dalam logika kemarahan massa, ia menjadi semacam “balasan spontan” terhadap mereka yang dianggap nyaman di kursi empuk, sementara rakyat bergulat dengan hidup yang kian sulit.
Refleksi yang lahir dari semua ini jelas: politik kita sedang sakit. Negara gagal membedakan kritik dengan ancaman. Aparat lupa bahwa rakyat adalah pemilik sah negeri ini. Dan wakil rakyat terlalu sibuk menjaga kepentingannya sendiri.
Namun, dari tragedi ini ada pelajaran penting. Demokrasi sejati tidak lahir dari pentungan atau penjarahan, tetapi dari keberanian rakyat dan kesediaan negara untuk mendengar. Seperti kata Sukarno, “Demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kalau tidak, maka ia hanyalah alat kekuasaan.”
Komentar
Posting Komentar