Langsung ke konten utama

Korban Aksi, Arogansi Aparat, dan Kemarahan Publik

Di jalanan, suara massa bergemuruh. Poster-poster diangkat tinggi, teriakan tuntutan menggema, dan di tengah kerumunan itu ada yang tumbang. Seorang demonstran, yang datang dengan niat menyuarakan kegelisahan rakyat, justru pulang tinggal nama. Korban jiwa dalam aksi demo bukan lagi sekadar berita, melainkan luka kolektif bangsa. Luka yang tak hanya menimpa keluarga korban, tetapi juga merobek rasa keadilan masyarakat.

Di sisi lain, tindakan aparat yang seharusnya mengayomi justru memicu amarah. Gas air mata ditembakkan sembarangan, pentungan diayunkan tanpa pandang bulu. Arogansi aparat semakin menegaskan jurang antara rakyat dan negara. Bukannya menenangkan situasi, kekerasan itu malah menyulut api yang lebih besar.

Tak heran bila kemarahan publik kemudian meluap. Rumah anggota DPR menjadi sasaran penjarahan, simbol kekecewaan terhadap wakil rakyat yang dianggap tuli terhadap jeritan rakyat. Bagi sebagian orang, tindakan itu mungkin salah. Tetapi dalam logika kemarahan massa, ia menjadi semacam “balasan spontan” terhadap mereka yang dianggap nyaman di kursi empuk, sementara rakyat bergulat dengan hidup yang kian sulit.

Refleksi yang lahir dari semua ini jelas: politik kita sedang sakit. Negara gagal membedakan kritik dengan ancaman. Aparat lupa bahwa rakyat adalah pemilik sah negeri ini. Dan wakil rakyat terlalu sibuk menjaga kepentingannya sendiri.

Namun, dari tragedi ini ada pelajaran penting. Demokrasi sejati tidak lahir dari pentungan atau penjarahan, tetapi dari keberanian rakyat dan kesediaan negara untuk mendengar. Seperti kata Sukarno, “Demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kalau tidak, maka ia hanyalah alat kekuasaan.”



Komentar

Tulisan Populer

Apa Beda Suka, Senang, dan Cinta?

Apa beda suka, senang, dan cinta? Selama anda masih belum bisa membedakan ketiga hal itu, maka anda akan salah dalam memaknai cinta. Saya ilustrasikan dalam cerita, Anda membeli hp Android karena melihat banyak teman-teman yang memilikinya dan terlihat keren, saat itu anda berada di wilayah SUKA. Dan suka merupakan wilayah NAFSU. Ketika anda mengetahui fitur, fasilitas dan manfaat Android yang lebih hebat dibandingkan HP jenis lain, maka saat itu anda berada diwilayah SENANG. Dan senang itu tidak menentu, dapat berubah-ubah tergantung kepada MOOD. Saat BOSAN, bersiaplah untuk mengganti HP jenis baru yang lebih canggih. Jadi jelaslah bahwa, Selama ini CINTA yang kita yakini sebagai cinta baru berada dalam wilayah SUKA dan SENANG. BOHONG! Jika anda berkata, gue JATUH CINTA pada pandangan pertama. Sesungguhnya saat itu anda sedang berkata, gue NAFSU dalam pandangan pertama. Mengapa demikian? Karena cinta yang anda maknai baru sebatas SUKA. Suka dengan wajahnya yang cantik, se...

Benturan antara Idealisme dan Realitas

Sendy, sosok aktivis pergerakan mahasiswa yang idealis dan bertanggung jawab dalam memegang amanah di organisasinya. Dalam aksi, dia sering menjadi koordinator lapangan, mempimpin aksi. Mulai dari kebijakan kampus hingga kebijakan pemerintah daerah dan pusat yang tidak memihak kepada rakyat maka Sendy pasti membelanya dengan mengadakan aksi jalanan. Kata-kata yang terlontar dari mulutnya saat orasi, seolah menghipnotis yang mendengarnya, karena di bawakan dengan semangat dan mampu menggerakan massa dengan baik. Selang 6 tahun, saat ia meninggalkan kehidupan kampus dan menjadi pengusaha. Sendy menjadi opportunis dan pragmatis. Mengapa? Karena uang lah yang menjadi segalanya, dan kepentingan lah yang menjadi prioritasnya. Bukan karena lupa nya idealisme yang ia pegang selama ia jadi mahasiswa, namun semuanya berubah ketika uang berbicara. Apalagi saat ini Sendy telah berkeluarga dengan Fenny, aktivis pergerakan mahasiswi yang satu organisasi dengannya. Sendy dan Fenny memiliki 3 ora...