Hari ini, politik Indonesia terasa seperti panggung besar, di mana aksi massa menjadi salah satu cara rakyat mengekspresikan suara. Dari jalanan Jakarta hingga alun-alun kota kecil, spanduk dan teriakan massa seringkali mewakili rasa frustrasi terhadap harga kebutuhan pokok yang naik, kebijakan yang dirasa tak adil, hingga praktik politik yang dianggap hanya menguntungkan elite. Aksi massa ini lahir sebagai akibat dari kekecewaan panjang: jurang antara janji politik dan kenyataan yang rakyat hadapi sehari-hari.
Namun, seperti dicatat oleh Prof. Azyumardi Azra, politik Indonesia seringkali lebih sibuk dengan “politik kekuasaan” ketimbang politik kebijakan. Sementara itu, Ekonom Faisal Basri mengingatkan bahwa stabilitas politik tanpa perbaikan ekonomi hanya akan menjadi hiasan kosong. Keduanya seolah menegaskan: aksi massa hanyalah gejala, bukan akar persoalan.
Akibatnya, ketika pemerintah tidak mendengar, aksi massa akan terus meletup. Tapi kalau sekadar berteriak di jalan tanpa arah, protes bisa menjadi rutinitas yang kehilangan makna. Solusinya? Pertama, partisipasi politik rakyat harus diperkuat, bukan hanya saat pemilu, tapi juga lewat mekanisme pengawasan kebijakan. Kedua, elite politik perlu berhenti bermain akrobat kekuasaan dan mulai serius dengan pembangunan yang berkeadilan.
Refleksi pribadi saya: mungkin bangsa ini akan lebih baik jika setiap aksi massa tidak hanya berhenti pada tuntutan, tapi menjadi momentum membangun kesadaran politik yang lebih dewasa. Demokrasi bukan hanya tentang memilih, tapi juga tentang menjaga agar suara rakyat tidak dilupakan setelah kotak suara ditutup.
Komentar
Posting Komentar