Langsung ke konten utama

Postingan

Menyambut Kematian

Kematian itu pasti, tapi tetap saja jadi hal yang paling kita hindari. Dalam bukunya Psikologi Kematian, Komaruddin Hidayat mengajak kita untuk berhenti memandang kematian sebagai momok menakutkan, dan mulai menjadikannya cermin untuk merefleksikan hidup. Ia bilang, justru karena kita sadar akan mati, maka hidup menjadi bermakna. Kalau hidup ini abadi, mungkin kita akan menunda segalanya dan tak pernah serius menjalani hari. Komaruddin menyoroti bahwa banyak orang takut mati bukan karena kematiannya itu sendiri, tapi karena ketidaksiapan menghadapi ketidakpastian setelahnya. Kita takut belum cukup amal, takut ditinggal orang tercinta, atau malah takut dilupakan. Padahal, kematian bukanlah akhir, tapi transisi. Dalam perspektif ini, mati bukan musibah, melainkan momen peralihan menuju tahap berikutnya yang penuh misteri. Di balik kesadaran akan kematian, manusia justru menemukan kedewasaan spiritual. Hidup jadi lebih tertata, lebih bermakna. Kita jadi berpikir ulang sebelum menyakiti or...

Hantu yang Tidak Tahu Arah Surga

Sudah tiga malam Uwi duduk di atas lemari, diam-diam, melihat anak dan suaminya tidur. Bukan karena tidak punya tempat lain, tapi karena sejak jadi hantu, ia tak tahu harus ke mana. Jangankan tahu arah surga, nembus plafon saja masih takut nyangkut. Dulu, sebelum mati, Uwi sering bilang dalam hati, “Kalau aku mati, bagaimana suamiku? Bagaimana anak-anak makan? Apa mereka masih pakai baju yang aku lipat?” Tapi ternyata, waktu mati beneran, yang bikin sesak bukan soal cucian kotor atau dapur kosong. Tapi melihat kenyataan bahwa hidup tetap berjalan… tanpa dirinya. Suaminya sempat sedih. Dua minggu. Setelah itu, mulai rajin pakai minyak rambut. Uwi tahu arah ceritanya. Benar saja. Tiga bulan kemudian, datang perempuan baru. Bawa rendang, senyum sok sopan. Anak Uwi dipanggil "sayang" dengan suara yang terlalu manis, seperti teh yang kelamaan direndam. Uwi hanya bisa mengambang di langit-langit ruang tamu, sambil sesekali ngusir nyamuk, padahal dia tak bisa digigit lagi. Namun yan...

Kalau Aku Mati, Siapa yang Bayar Galon?

Tebe lagi nyetrika baju anak-anaknya sambil nyalahin hidup. Bukan karena setrikaan panasnya bocor, tapi karena pikirannya udah mendidih duluan. “Kalau aku mati, siapa yang bayar galon?!” Kalimat itu nggak penting buat orang normal. Tapi buat Tebe, itu kayak pertanyaan filsafat hidup. Berat, ngilu, dan bikin lambungnya kumat. Pikiran soal mati itu kayak tamu tak diundang yang nongol tiap malam. Kadang pas lagi ngaduk susu buat si bungsu, kadang pas lagi ngupil di kamar mandi. Tebe cemas. Cemas banget. Bukan takut neraka, tapi takut tagihan listrik lupa dibayar kalau dia mati mendadak. “Teb, kamu kenapa sih sekarang jadi pendiam? Dulu mah kamu kayak keran bocor, ngomong terus,” tanya istrinya sambil ngelipet celana. Tebe cuma senyum kecut. Nggak tega jawab, kalau dalam pikirannya, tiap detik tuh kayak film pendek berjudul: “Pemakaman Ayah dan Anak-anaknya yang Kebingungan Bawa Kartu Keluarga.” Saking cemasnya, Tebe sampai nyari artikel: “Cara Menyiapkan Anak-anak Jika Ayah Mati Mendadak....