Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2025

Punya Teman Pejabat, Bukan Berarti Urusan Hidup Lebih Mudah

Saya punya teman, sebut saja namanya Maman. Dia bangga betul karena punya kenalan pejabat. Di setiap tongkrongan, dia selalu menyelipkan kalimat sakti, “Waktu itu saya ngobrol sama Pak Camat, katanya sih…” atau “Saya sama Wakil Walikota deket, Bro.” Awalnya kami pikir dia bercanda. Tapi makin ke sini, makin sering dia bawa-bawa nama pejabat itu seakan-akan punya efek magis. Lucunya, waktu dia ditilang polisi karena nerobos lampu merah, nggak ada satu pun “kenalan pejabat”-nya yang bisa bantu. Akhirnya dia bayar tilang sendiri sambil misuh-misuh, “Padahal saya tuh kenal Pak Lurah, loh!” Nah, di situlah saya belajar satu hal: punya kenalan pejabat nggak otomatis bikin kita punya kuasa atau keistimewaan. Ibarat punya nomor WA artis, tapi cuma bisa lihat statusnya doang, nggak pernah dibalas juga. Temenan iya, tapi nggak berarti apa-apa. Banyak orang terlalu mengagungkan “relasi”, sampai lupa bahwa pengaruh sejati bukan soal kenalan siapa, tapi kontribusi kita apa. Kadang, kita cuma figura...

Tuhan Bukan Ada di Mana-Mana, Tapi Ia Tidak Ada

Tuhan sering disebut ada di mana-mana: di udara, di hati manusia, di balik peristiwa, bahkan di dalam setiap hela napas. Tapi itu hanya pernyataan tanpa bukti. Dalam sains, keberadaan sesuatu harus bisa diverifikasi, diuji, dan diulang hasilnya. Tuhan tidak memenuhi syarat itu. Maka, secara metodologis dan epistemologis: Tuhan tidak ada. Kalimat "Tuhan ada di mana-mana" adalah bentuk pelarian dari ketidaktahuan. Itu jawaban klise dari pertanyaan yang tidak bisa dijawab. Jika Tuhan benar ada di mana-mana, seharusnya keberadaan-Nya bisa dideteksi. Tapi tak ada alat ukur, tak ada observasi, dan tak ada bukti empiris yang bisa memastikan bahwa Tuhan eksis, apalagi "di mana-mana". Neurosains menunjukkan bahwa pengalaman spiritual bisa dijelaskan lewat aktivitas otak. Ilusi kehadiran "entitas ilahi" muncul dari proses neurologis tertentu. Artinya, keberadaan Tuhan adalah produk dari sistem saraf manusia. Tuhan bukan entitas eksternal, tapi proyeksi internal. Den...

Iman Itu Nggak Ilmiah dan Nggak Logis, Tapi Ya Emang Begitu

Kalau kita jujur, iman itu nggak ilmiah dan nggak logis. Iman adalah percaya pada sesuatu yang belum tentu bisa dibuktikan. Dalam sains, sesuatu harus bisa diuji, diamati, dan dibuktikan secara berulang. Tapi dalam iman? Cukup percaya. Nggak perlu bukti, cukup keyakinan. Logika? Bisa iya, bisa enggak. Tapi mayoritas, iman justru menanggalkan logika demi percaya pada sesuatu yang lebih besar dari nalar. Berapa banyak orang percaya surga dan neraka? Padahal nggak ada satupun yang bisa menunjukkan bukti konkret soal tempat itu. Tapi mereka tetap percaya, karena katanya "harus yakin dulu baru paham". Nah, ini jelas beda jalur sama logika. Bertrand Russell, seorang filsuf Inggris, bilang: "Not wanting to die is not evidence for an afterlife." Artinya, keinginan akan sesuatu nggak bisa jadi bukti bahwa itu benar-benar ada. Dalam dunia filsafat, iman digolongkan sebagai bentuk kepercayaan non-rasional. Kierkegaard bahkan menyebut iman sebagai “lompatan ke dalam jurang.” Ma...

Ternyata Manusia Dilahirkan Bukan Diciptakan

Mari kita mulai dengan satu pertanyaan mendasar: adakah bukti empiris bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan? Jawabannya: tidak ada. Sampai detik ini, tidak ada satu pun data ilmiah atau eksperimen yang bisa membuktikan bahwa manusia pertama—entah disebut Adam atau yang lain—muncul karena ciptaan sosok ilahi. Cerita Adam hanyalah narasi mitologis yang tertulis dalam kitab suci, bukan dokumen sejarah atau hasil penelitian ilmiah. Dalam sains, sesuatu dianggap valid jika bisa diamati, diukur, dan direplikasi. Tapi penciptaan manusia versi agama tidak memenuhi tiga kriteria tersebut. Evolusi, sebagai teori ilmiah, memberikan penjelasan lebih masuk akal dan didukung bukti fosil, genetika, hingga kesamaan struktur biologis antar spesies. Charles Darwin tidak pernah menyebut Tuhan dalam proses itu—karena memang tidak ada kebutuhan untuk hipotesis semacam itu. Dr. Ryu Hasan sering menekankan bahwa “keyakinan bukan kebenaran.” Agama menawarkan narasi untuk menjawab rasa penasaran manusia tentang ...

Bayang-Bayang Kaibon Banten

Tahun 1832. Asap masih belum hilang dari reruntuhan Kaibon, istana megah yang dulu jadi kebanggaan Banten. Batu-batunya masih hangat, seperti menyimpan murka. Tak ada denting gamelan, tak ada suara dayang berbisik. Hanya desir angin dan langkah sepatu Belanda yang membelah puing-puing sejarah. Letnan van der Graaf berdiri mematung di depan sisa pilar Kaibon, tangan kirinya memegang sketsa istana yang kini tak berarti. “Tak ada kerajaan yang lebih besar dari pemerintah Hindia-Belanda,” ucapnya dingin, seolah membekukan waktu. Di balik reruntuhan, seorang pemuda Banten, Ra’i, mengintip. Napasnya pendek. Dadanya penuh amarah. Ia menyaksikan sendiri Kaibon dibakar, tempat ibunya dulu bekerja sebagai pelayan sultanah. Matanya menatap jauh ke arah benteng yang porak-poranda—Benteng Speelwijk. Tempat pertahanan terakhir, kini hanya rangka besi tua dan dinding jebol. Dihancurkan bukan oleh musuh asing, tapi oleh tipu daya dagang, manipulasi politik, dan perpecahan bangsawan sendiri. Runtuhnya ...

Tuhan yang Tak Pernah Mengenalkan Diri

Coba deh pikirin pelan-pelan: kita sering banget nyebut nama Tuhan, berdoa, menyembah, bahkan berdebat tentang siapa Tuhan yang paling benar. Tapi pernah nggak sih, kita sadar bahwa Tuhan nggak pernah benar-benar memperkenalkan diri secara langsung? Kita kenal Tuhan lewat apa? Kitab suci, ajaran agama, petuah orang tua, dan ceramah-ceramah yang katanya bersumber dari wahyu. Tapi apakah itu benar-benar Tuhan? Atau cuma tafsir manusia tentang Tuhan? Dalam filsafat, ini mirip kayak kritiknya Feuerbach: “Tuhan adalah proyeksi ideal manusia.” Kita menciptakan gambaran Tuhan sesuai nilai dan kebutuhan kita. Bahkan Nietzsche lebih blak-blakan, katanya Tuhan sudah mati, karena manusia udah menggantikan Tuhan dengan ideologi dan rasionalitas. Tapi jauh sebelum itu, Socrates aja udah nyindir, bahwa pengakuan manusia tentang pengetahuan kadang cuma ilusi. Termasuk pengetahuan kita soal Tuhan. Kita bisa baca ratusan kitab, ikut ribuan ritual, tapi apakah kita sungguh-sungguh mengenal Tuhan? Atau c...

Teman yang Kita Dulu Sama-sama Susah

“Eh, itu Damar, kan?” gumam Tebe sambil memelototi layar ponselnya. Foto seorang pria berdasi, dengan senyum ramah di backdrop bertuliskan “Pelantikan Pejabat Eselon II”. Komentar di bawahnya seperti parade ucapan selamat. Tebe mendesah. Tangannya berhenti menggulir. Di tangannya ada gorengan setengah dingin yang sudah tak menggugah selera. Dulu, Damar itu temannya satu kelas di SMA. Duduk paling belakang, langganan nggak bawa PR, dan kalau ujian selalu nanya, “Lu udah belajar belum, Teb?” Sekarang? Damar jadi Kepala Dinas. Bukan iri, sih. Tapi… ya mungkin iya, dikit. Tebe masih jadi staf administrasi kontrak di perusahaan kecil, gaji pas-pasan, anak dua, cicilan motor belum lunas. Dulu mereka ngeluh bareng soal sepatu bolong dan warteg langganan. Tapi hidup kayak punya GPS masing-masing—dan jelas punya destinasi yang beda. Beberapa hari lalu, Tebe nekat DM Damar di Instagram. Cuma dibaca. Nggak dibalas. Waktu yang dulunya bisa bikin dua anak remaja ngobrol tentang hidup dan cinta mony...

Di Ingatanku, Kamu Masih Anak-Anak Meski Ragamu Semakin Menua

“Woy, Heru! Masih inget nggak, dulu kamu paling takut sama Bu Nurul, sampe ngompol di kelas?” Tawa pecah di teras rumah tua yang dulu jadi basecamp kami. Heru hanya nyengir. Sisa rambutnya mulai memutih, perutnya tak lagi ramping, dan geraknya sudah lambat. Tapi buat kami, Heru masih anak SMA yang suka nyontek PR Matematika dan jago main kelereng. Aku, Roni, dan Iqbal masih manggil dia “Heru kecil” walaupun sekarang dia punya tiga anak dan satu ginjal yang udah nggak berfungsi penuh. Dulu, dia paling cerewet, sekarang lebih banyak diam. Dulu, dia paling ngocol, sekarang sering lupa nama temen sekelas. “Aku tuh kadang ngerasa, kalian semua nggak pernah tua,” kata Heru pelan, matanya menerawang. “Ya karena kita udah tua bareng,” jawabku. “Tapi di kepala ini, kalian semua masih bocah. Masih pakai celana SMP, masih naik sepeda ke sekolah, masih rebutan jajan cilok di warung Mbah Salim.” Semua diam sejenak. Ada jeda yang menggantung antara nostalgia dan kenyataan. Seringkali, waktu nggak te...

Realita yang Nggak Diceritain di Seminar Motivasi

Pernah nggak kamu duduk di seminar motivasi, dengerin pembicara bilang, “Kalau saya bisa sukses, kamu juga pasti bisa!” Terus kamu mikir, “Iya sih, tapi hidup saya nggak semudah itu, Bambang.” Kadang kita lupa, bahwa jadi sukses bukan cuma soal niat dan kerja keras doang, tapi juga soal titik start, kondisi lingkungan, dan privilege yang kita bawa dari lahir. Banyak orang miskin yang dikasih motivasi, disuruh bangkit, disuruh rajin, tapi faktanya nggak semua bisa langsung berubah jadi kaya raya. Kenapa? Karena sistem sosial, akses pendidikan, kesehatan mental, dan tekanan ekonomi itu nyata. Bukan semua orang punya waktu buat “berani ambil risiko”, kalau makan aja masih mikir besok cukup apa nggak. Dalam psikologi sosial, hal ini disebut sebagai situational constraint. Orang nggak selalu gagal karena malas, tapi karena dibatasi oleh lingkungan dan kondisi hidup. Malcolm Gladwell dalam bukunya Outliers juga bilang, orang sukses itu bukan cuma kerja keras, tapi juga dapat kesempatan yang ...

Memori Palsu: Kenangan yang Tertanam, Tapi Tak Pernah Ada

Pernah nggak kamu merasa yakin banget sama sebuah kejadian di masa lalu—kayak teman yang pernah minjem buku, mantan yang katanya pernah bilang sesuatu, atau kejadian pas kecil yang kamu ceritain berkali-kali—tapi setelah ditelusuri, ternyata itu nggak pernah benar-benar terjadi? Kalau iya, selamat datang di dunia false memory alias memori palsu. Dalam psikologi dan neurosains, false memory adalah kenangan yang terasa nyata, tapi sebenarnya hasil konstruksi otak. Elizabeth Loftus, salah satu pakar psikologi kognitif paling berpengaruh, menyebut bahwa memori itu sifatnya rekonstruktif, bukan rekaman kamera. Artinya, setiap kali kita mengingat sesuatu, otak kita bukan memutar ulang, tapi “menyusun ulang” potongan-potongan yang ada—dan di sinilah sering masuknya fragmen yang salah. Kadang memori palsu muncul karena sugesti orang lain, cerita yang diulang-ulang, atau bahkan karena terlalu sering kita membayangkan sesuatu. Neurosains menjelaskan bahwa bagian otak seperti hippocampus dan pref...

Sampah Emosi dalam Konseling

Dalam dunia konseling, mendengarkan itu adalah inti. Seorang konselor, psikolog, atau terapis bekerja bukan untuk sekadar memberi solusi, tapi hadir—menjadi ruang aman bagi klien untuk bercerita, melepaskan beban, mengurai luka. Tapi di balik peran mulia itu, ada kenyataan yang nggak banyak dibahas: apa kabar hati dan pikiran si pendengar? Saat mendengarkan curhat klien yang penuh trauma, kemarahan, dosa, hingga kisah pengkhianatan—mau tak mau, konselor menyerap emosi-emosi itu. Ini yang disebut dengan istilah emotional residue atau compassion fatigue. Dalam jangka panjang, pendengar bisa kelelahan, kebawa suasana, bahkan terpengaruh secara emosional. Sama seperti orang yang kebanyakan nyium bau sampah, lama-lama ikut bau. Sigmund Freud pernah melakukan pendekatan unik: ia duduk membelakangi klien saat sesi konseling. Tujuannya bukan untuk tidak sopan, tapi untuk menjaga jarak dari ekspresi wajah, emosi, dan cerita personal klien agar tidak mengganggu dirinya secara pribadi. Freud sada...