Pengkaderan awal ketika saya sekolah menengah tertarik dengan kajian salafy bukan karena bahasan agama yang mereka berikan atau celana ngatung yang sering menjadi ciri khas mereka. Bermula dari belajar bahasa arab nahwu yang diajarkan kepada saya secara gratis, berjalan hampir beberapa bulan, sepulang sekolah setiap selesai shalat ashar atau magrib saya diajak belajar ilmu nahwu.
Dari belajar ilmu nahwu mulai disisipkan beberapa ajaran tauhid di salafy, selain itu saya juga diajarkan berdagang dengan menjual buku-buku bermanhaj salafy, berjualan tetes mata herbal yang dari sini saya dikenal sebagai penjual obat tetes mata (otem) di kalangan teman sekolah hingga kuliah.
Setelah dianggap sebagai orang yang layak diberikan ilmu yang lebih dalam lagi di salafy, saya ditawarkan membeli baju gamis khas orang yang biasa mengikuti kajian salafy karena lebih afdol datang kajian menggunakan pakaian gamis seperti disunnahkan oleh rasul, lengkap dengan celana ngatung (tidak isbal), memelihara jenggot dan jidat menghitam.
Kajian salafy yang pertama kali saya ikuti di Masjid As Salam adalah mengenai golongan yang selamat atau yang dalam bahasa arab adalah al firqotun najiah. Saya dibonceng oleh teman membawa sepeda motor, beliau lah orang mengajak ikut kajian salafy di Cilegon dan memperkenalkan dengan ikhwah salafy di Cilegon.
Bacaan buku saya banyak dijejali dengan buletin islam yang bermanhaj salafy, mewarnai corak pemikiran saya sebagai remaja yang berakidah wahabi atau salafy yang mulai berani berbeda tidak qunut, solat tarawih hanya 8 rokaat, wajib memakai sutroh ketika solat sunnah, takbirotul ihrom dan bersedekap di dada, diikuti dengan beberapa pilihan fikih dalam solat yang bermanhaj wahabi salafy lainnya.
Pada masa itu saya mengalami banyak kegamangan dalam urusan perbedaan fikih, sampai ada tokoh agama di kampung yang mengingatkan agar saya berhati-hati dalam memilih buku bacaan dan guru agama, dikhawatirkan menjadi teroris.
Dari belajar ilmu nahwu mulai disisipkan beberapa ajaran tauhid di salafy, selain itu saya juga diajarkan berdagang dengan menjual buku-buku bermanhaj salafy, berjualan tetes mata herbal yang dari sini saya dikenal sebagai penjual obat tetes mata (otem) di kalangan teman sekolah hingga kuliah.
Setelah dianggap sebagai orang yang layak diberikan ilmu yang lebih dalam lagi di salafy, saya ditawarkan membeli baju gamis khas orang yang biasa mengikuti kajian salafy karena lebih afdol datang kajian menggunakan pakaian gamis seperti disunnahkan oleh rasul, lengkap dengan celana ngatung (tidak isbal), memelihara jenggot dan jidat menghitam.
Kajian salafy yang pertama kali saya ikuti di Masjid As Salam adalah mengenai golongan yang selamat atau yang dalam bahasa arab adalah al firqotun najiah. Saya dibonceng oleh teman membawa sepeda motor, beliau lah orang mengajak ikut kajian salafy di Cilegon dan memperkenalkan dengan ikhwah salafy di Cilegon.
Bacaan buku saya banyak dijejali dengan buletin islam yang bermanhaj salafy, mewarnai corak pemikiran saya sebagai remaja yang berakidah wahabi atau salafy yang mulai berani berbeda tidak qunut, solat tarawih hanya 8 rokaat, wajib memakai sutroh ketika solat sunnah, takbirotul ihrom dan bersedekap di dada, diikuti dengan beberapa pilihan fikih dalam solat yang bermanhaj wahabi salafy lainnya.
Pada masa itu saya mengalami banyak kegamangan dalam urusan perbedaan fikih, sampai ada tokoh agama di kampung yang mengingatkan agar saya berhati-hati dalam memilih buku bacaan dan guru agama, dikhawatirkan menjadi teroris.
Dimana pada saat itu sedang ramai bom jihad yang dilakukan oleh teroris yang mengatasnamakan agama islam. Aktivis dakwah sekolah sering dikhawatirkan menjadi bibit teroris. Padahal kami meyakini yang sedang kita pelajari bukan gerakan terorisme, melainkan gerakan pemurnian tauhid yang menjauhi terorisme, menghindari takhayul, khurafat dan bidah.
Komentar
Posting Komentar