Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2024

Berhenti Membandingkan Nasib

Di tongkrongan, sering banget kita dengar obrolan soal pencapaian hidup. "Eh, bro, lo udah punya rumah belum?" atau "Gue baru aja naik jabatan, lo kapan?" Itu sih udah jadi makanan sehari-hari. Meski kesannya sepele, percakapan kayak gini bisa bikin orang lain ngerasa minder atau nggak nyaman. Setiap orang punya perjalanan hidupnya masing-masing. Ada yang udah sukses di usia muda, ada yang masih berjuang keras. Membandingkan pencapaian kita sama orang lain cuma bakal nambah tekanan, baik buat diri sendiri maupun orang lain. Lebih baik saling menghargai dan mendukung, bukan saling merendahkan. Masalahnya, kita sering lupa kalo hidup ini adalah proses naik turun. Nggak ada yang selalu di atas atau di bawah. Pas kita lagi di atas, ingetlah bahwa suatu saat kita bisa turun. Begitu juga sebaliknya, pas kita lagi di bawah, jangan putus asa, karena ada kemungkinan kita bisa naik lagi. Solusinya, coba deh lebih bijak dalam berbicara dan bersikap. Daripada pamer pencapaian, ...

Fenomena Hijrah, Lebih Dekat dengan Agama atau Menjadi Sosok yang Menyebalkan?

Titik hijrah seseorang bisa menjadi momen penting dalam hidup. Banyak yang mengalami perubahan besar, baik dari segi pemikiran maupun penampilan, ketika mereka merasa lebih dekat dengan agama. Mereka mulai mengenakan pakaian yang lebih sesuai dengan ajaran agama, menghindari hal-hal yang dianggap tidak islami, dan lebih sering mengajak orang lain untuk mengikuti jalan yang mereka yakini paling benar. Perubahan ini sering kali didorong oleh keinginan tulus untuk menjadi lebih baik dan mendapatkan hidayah. Namun, hijrah tidak selalu menjadi patokan bahwa seseorang otomatis menjadi lebih baik. Kadang, orang yang baru berhijrah bisa menjadi sosok yang menyebalkan karena merasa paling benar sendiri. Mereka mungkin cenderung menyalahkan dan menghakimi orang lain yang belum berhijrah, tanpa mempertimbangkan perjalanan spiritual setiap individu berbeda-beda. Sebagai contoh, seorang teman yang dulu dikenal santai dan fleksibel tiba-tiba berubah drastis setelah berhijrah. Dia kini sering memberi...

Kenapa Enggak Nikah-Nikah?

“Kenapa nggak nikah-nikah, Sahal?” tanya Wawan sambil melipat sajadah di beranda masjid. Kami baru saja selesai salat Ashar di Masjid Al-Falah, Jakarta, tahun 2007. Sahal, sahabat kami yang punya usaha rental motor paling laris di kota ini, hanya tersenyum tipis.  Beberapa menit sebelumnya, kami sedang bersantai di masjid setelah lelah mengelilingi kota. Sahal datang dengan motor bebeknya yang selalu mengkilap, ciri khas pengusaha sukses di bidang rental motor. “Aku tuh sibuk, Wan. Rental motor butuh perhatian lebih,” jawab Sahal sambil mengunyah kurma. “Lagipula, nikah itu nggak wajib, kan?” Wawan tertawa kecil. “Ya memang nggak wajib, tapi kan enak kalau ada yang ngurusin. Masa hidup sendiri terus?” Sahal hanya mengangkat bahu. “Aku nggak sendiri kok, ada motor-motor kesayanganku,” jawabnya sambil tertawa. “Lagipula, hidup sendiri itu lebih bebas. Mau ke mana saja, nggak perlu izin.” Kami semua tertawa mendengar jawaban Sahal. Sebenarnya, banyak yang penasaran kenapa dia tidak pe...

Membaca Realitas Politik

Politik itu ibarat panggung sandiwara. Tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanya peluang dan kesempatan. Di balik senyuman dan pelukan hangat, tersimpan ambisi dan strategi yang siap berputar arah kapan saja.  Contohnya, kemarin mereka musuh bebuyutan, saling sindir di media, tapi hari ini duduk satu meja, makan bersama sambil berunding. Begitulah politik, tempat di mana segala sesuatu bisa berubah dengan cepat, tergantung pada kepentingan dan keuntungan yang bisa diraih.  Ari Dwipayana, seorang pakar politik ternama di Indonesia, pernah berkata, "Politik adalah seni kemungkinan." Ini berarti, di dunia politik, yang penting bukan siapa teman atau musuhmu, melainkan bagaimana kamu bisa memanfaatkan setiap momen untuk mencapai tujuan. Kawan hari ini bisa jadi lawan besok, begitu juga sebaliknya. Semua itu tergantung pada peluang yang ada di depan mata. Ketika ada kesempatan untuk meraih kekuasaan atau mendapatkan keuntungan tertentu, orang-orang di dunia politik tida...

Kader Partai Politik yang Kalah Pamor dengan Popularitas dan Modal Besar

Di balik gegap gempita Pemilihan Kepala Daerah, ada cerita getir tentang seorang kader partai yang gagal meraih posisi kepala daerah. Sejak awal, dia mengikuti jenjang kaderisasi dengan semangat membara. Berangkat dari sekolah partai, merambah ke dunia kampus, dan akhirnya mendalami politik secara serius. Namun, kenyataan politik seringkali tak seindah teori di buku-buku pelajaran. Kader ini, meski berpengalaman dan berdedikasi, kalah pamor dari para calon yang lebih populer dan punya modal amunisi politik yang lebih besar. Ironisnya, lawan-lawan politiknya lebih dikenal sebagai selebritas dan figur publik yang sering muncul di layar kaca. Popularitas mereka mengalahkan segala bentuk pengalaman dan kompetensi yang telah dibangun dengan susah payah oleh sang kader. Selain itu, politik adalah soal kedekatan dengan para elite partai. Tanpa dukungan kuat dari atas, kader ini seolah berjalan di jalan terjal tanpa sandaran. Para elite lebih memilih mendukung figur yang bisa menaikkan citra p...

Kelucuan Marshel Widianto, Popularitas Mengalahkan Kualitas?

Majunya pelawak Marshel Widianto sebagai calon wakil wali kota Tangerang Selatan menimbulkan banyak perdebatan. Sebagai seorang komedian, Marshel mungkin dikenal luas oleh masyarakat dan memiliki daya tarik tersendiri. Namun, dalam konteks politik, pertanyaan utama adalah apakah popularitas semata cukup untuk memimpin sebuah kota dengan segala kompleksitasnya. Marshel tidak memiliki kapasitas politik yang mumpuni. Rekam jejaknya di dunia politik nyaris tidak ada, dan pengalamannya lebih banyak berkisar pada dunia hiburan. Selain itu, ia pernah tersandung kasus pembelian konten porno, yang menunjukkan ketidakmatangan dalam mengambil keputusan. Sering datang telat saat mengisi acara hiburan televisi juga mencerminkan kurangnya disiplin, yang menjadi salah satu kualitas penting dalam kepemimpinan. Pemilihan kepala daerah seharusnya menyuguhkan kualitas pemimpin terbaik yang mampu membawa perubahan positif. Namun, yang sering kita saksikan adalah lebih mengutamakan popularitas. Pemimpin di...

Koalisi PKS dan Gerindra: Langkah Strategis di Pilkada Banten dan Kota Serang

Di dunia politik, strategi adalah segalanya. Setelah satu dekade menjadi oposisi di Banten dan Kota Serang, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tampaknya mengubah taktiknya. Kini, PKS merapat ke Partai Gerindra, partai yang sedang berkuasa. Langkah ini bisa dilihat sebagai upaya PKS untuk membangun kembali pengaruh dan kekuatannya di kancah politik lokal. Mengapa PKS memilih untuk berkoalisi dengan Gerindra? Sederhananya, politik adalah tentang kekuatan dan peluang. Setelah 10 tahun berada di luar pemerintahan, PKS mungkin melihat bahwa bekerja sama dengan partai yang sedang berkuasa bisa membuka jalan bagi mereka untuk lebih berpengaruh dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan. Koalisi ini bukan tanpa tantangan. Para pendukung PKS yang setia mungkin merasa kecewa melihat partai mereka bergandengan tangan dengan partai yang dulu mereka kritik. Namun, dari sudut pandang strategis, langkah ini masuk akal. Dengan Gerindra sebagai mitra, PKS bisa mendapatkan akses ke sumber daya d...

Percaya atau Mencari?

Banyak orang percaya, tapi mereka bukan pencari. Mereka merasa cukup dengan kepercayaannya, tanpa perlu bertanya lebih jauh. Ini adalah pilihan yang nyaman, tentu saja. Percaya berarti tidak perlu repot mencari, tidak perlu repot berpikir lebih dalam. Percaya adalah jalan pintas untuk menghindari pencarian yang sering kali penuh ketidakpastian dan keraguan. Kenapa begitu? Karena orang yang percaya sering kali ingin dibebaskan dari tanggung jawab mencari. Mereka ingin diselamatkan, ingin ada yang datang dan membereskan semuanya. Mereka berharap ada mesias, juru selamat yang akan mengurus semua persoalan hidup mereka. Tapi masalahnya, jika ada orang yang makan untukmu, apakah rasa laparmu akan hilang? Tentu saja tidak. Inilah yang sering kali kita lupakan. Tidak ada yang bisa menyelamatkan kita kecuali diri kita sendiri. Kita adalah kapten dari kapal kehidupan kita. Memang, jalan mencari itu berat dan penuh liku. Tapi itulah yang membuat kita benar-benar hidup dan berproses. Kita harus m...

Tidak Ada Rotan, Thoriq pun Sudah Haji

“Aku ini sudah naik haji sejak umur 2 bulan,” ujar Haji Thoriq dengan bangga di depan kamera podcast. Kami, tim Podcast Ngaco, nyaris terpingkal mendengar pernyataannya. Beberapa menit sebelumnya, Haji Thoriq datang dengan semangat luar biasa. “Hari ini, aku bakal bikin kalian takjub!” serunya. Saat siaran dimulai, dia langsung menyampaikan klaim nyelenehnya. “Serius, Haji? Gimana ceritanya bisa naik haji di umur 2 bulan?” tanya Reza, host kami, dengan senyum setengah tertahan. Haji Thoriq mengangguk. “Waktu itu bapak-ibuku pergi haji, dan aku ikut—meskipun masih di perut ibu. Jadi, secara teknis, aku ini sudah naik haji sejak di kandungan!” Gelak tawa memenuhi studio kecil kami. “Wah, hebat juga, Haji. Jadi pengalaman hajimu lebih dini daripada kita yang baru naik haji setelah dewasa?” tanyaku, mencoba terlihat serius. “Tentu saja,” jawab Haji Thoriq sambil tersenyum lebar. “Pengalaman spiritualku lebih awal daripada kalian.”

Syariah, Negara, dan Ketakutan

Dalam esainya "Syariah, Negara, dan Ketakutan" yang termuat dalam Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad mengajak kita merenungkan bagaimana syariah dan negara bisa jadi campuran yang menakutkan. Goenawan menggambarkan syariah sebagai pedang bermata dua: di satu sisi, ia adalah ekspresi dari keyakinan religius; di sisi lain, jika diterapkan secara paksa oleh negara, ia bisa menimbulkan ketakutan dan alienasi di kalangan masyarakat. Bayangkan kalau syariah, yang sebenarnya bersifat personal dan spiritual, tiba-tiba jadi hukum negara yang kaku. Di Aceh, misalnya, kita lihat bagaimana aturan-aturan syariah bisa mengontrol perilaku publik, mulai dari cara berpakaian hingga cara beribadah. Di sinilah ketakutan mulai muncul: ketakutan akan penindakan, ketakutan akan stigma, dan yang paling parah, ketakutan akan hilangnya kebebasan. Goenawan membandingkan kondisi ini dengan suasana di negara-negara yang memisahkan agama dari negara, seperti di Barat. Di sana, syariah tidak memegang kekua...

Agama Kuburan

“Agama kuburan” sering kali merujuk pada praktik keagamaan yang berkaitan dengan makam leluhur atau tokoh-tokoh suci. Meskipun terdengar kuno, praktik ini masih sangat hidup di banyak komunitas. Di sini, kuburan bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir, melainkan menjadi pusat spiritualitas dan tempat mencari berkah. Pernahkah kamu melihat orang berkumpul di makam seorang wali atau tokoh terhormat, membawa bunga, dan berdoa dengan khusyuk? Mereka berharap agar ruh orang yang dimakamkan itu bisa menjadi perantara doa mereka kepada Tuhan. Ini adalah cerminan dari keyakinan bahwa tempat tersebut memiliki kekuatan khusus, semacam aura sakral yang bisa membawa kedamaian dan perlindungan. Mengapa orang masih melakukan ini di era modern? Jawabannya sederhana: koneksi dengan masa lalu memberikan rasa ketenangan dan kontinuitas. Di tengah dunia yang terus berubah, ziarah ke makam menawarkan sesuatu yang tetap dan akrab. Praktik ini juga memberikan kesempatan untuk merefleksikan kehidupan, m...

Pikiran adalah Maut

Pernahkah kamu merasa terjebak dalam pikiranmu sendiri, seolah-olah pikiran-pikiran itu seperti rantai yang mengurungmu? Pikiran bisa menjadi maut—bukan dalam arti literal, tapi dalam cara mereka bisa menghancurkan kebebasan dan kedamaian batin kita.  Pikiran, dengan segala ingatan dan pengkondisiannya, sering kali menjadi penghalang bagi kita untuk benar-benar hidup. Mereka bisa menarik kita ke dalam masa lalu yang penuh penyesalan atau mendorong kita ke dalam kekhawatiran tentang masa depan. Pikiran adalah alat yang luar biasa jika dipakai dengan benar, tapi bisa berbahaya jika kita biarkan mengendalikan hidup kita.  Kita sering kali begitu terikat dengan pikiran kita, mempercayai bahwa apa yang kita pikirkan adalah realitas mutlak. Namun, pikiran sering terbentuk oleh ketakutan, keinginan, dan prasangka. Mereka bisa menciptakan ilusi yang memperkeruh pemahaman kita tentang diri sendiri dan dunia. Kebebasan sejati hanya bisa ditemukan dalam pemahaman total tentang pikiran da...

Tuhan Maha Asyik, Tapi Bukan Sok Asyik

Sujiwo Tejo, dengan cara pandangnya yang khas, menggambarkan Tuhan sebagai sosok yang asyik, jauh dari bayangan Tuhan yang formal dan kaku. Dalam pandangan Sujiwo, Tuhan bukan hanya Maha Pengatur, tetapi juga Maha Asyik, sosok yang bisa kita ajak "ngobrol" dalam keintiman sehari-hari. Bagi Sujiwo, melihat Tuhan sebagai sosok yang asyik memberikan kedekatan spiritual yang lebih personal. “Kenapa harus takut sama Tuhan? Kalau kita merasa Tuhan itu asyik, hidup jadi lebih ringan,” katanya. Dalam buku dan penampilannya, Sujiwo sering menceritakan bagaimana Tuhan bisa ditemui dalam hal-hal kecil, dalam tawa, kesedihan, atau bahkan dalam secangkir kopi yang kita nikmati di pagi hari. Bayangkan, Sujiwo mengajak kita berbincang dengan Tuhan seolah-olah sedang mengobrol dengan sahabat karib. Tuhan, dalam pemahamannya, bukanlah sosok yang jauh di awan tinggi yang hanya bisa ditemui melalui ritual yang rumit. Sebaliknya, Tuhan hadir dalam setiap napas kita, dalam setiap langkah, dan dal...