Ada semacam wisata yang tidak pernah benar-benar dibuka untuk umum, tapi setiap orang memilikinya: wisata masa lalu. Tempat di mana kita bisa masuk tanpa tiket, tanpa antrean, cukup dengan rindu yang tiba-tiba mengetuk.
Aku sering berkunjung ke sana, diam-diam, di sela kesibukan atau saat malam sudah terlalu sunyi. Ada aroma buku tua, tawa yang dulu terdengar renyah, wajah-wajah yang mungkin sudah asing hari ini, tapi masih hangat di ingatan. Rindu itu seperti pemandu wisata yang dengan sabarnya membawa kita menyusuri jalan setapak kenangan, memperlihatkan sudut-sudut yang pernah kita lalui dengan begitu sederhana, tapi sekarang terasa begitu berharga.
Di sana, aku bisa kembali ke masa sekolah yang penuh keriangan, ke obrolan kampus yang penuh mimpi, atau ke rumah tua yang sekarang mungkin sudah lapuk. Setiap ruangnya menyimpan gema yang tak lagi bisa disentuh, tapi bisa dirasakan.
Namun, wisata ke masa lalu juga menyimpan paradoks. Semakin sering aku masuk ke sana, semakin aku sadar: masa lalu tidak bisa dihuni kembali. Ia hanya bisa didatangi sebagai tamu. Dan kerinduan itu, meski indah, seringkali membuatku sadar betapa waktu hanya memberi tiket sekali jalan.
Kadang aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa kita selalu rindu mendatanginya kembali? Mungkin karena masa lalu adalah satu-satunya tempat di mana kita bisa merasa utuh, sebelum patah, sebelum kehilangan.
Pada akhirnya, wisata itu adalah cara sederhana untuk berdamai dengan rindu. Bukan untuk kembali benar-benar tinggal, tapi untuk mengingat bahwa kita pernah hidup begitu penuh, begitu dekat dengan kebahagiaan yang tak pernah kita sadari saat itu.
Komentar
Posting Komentar