Aku masih ingat malam itu, tepat di serambi masjid kampus, udara dingin, tapi kata-kata yang keluar lebih panas dari kopi yang belum sempat kuminum. “Kalau memang nggak cocok lagi, pergi saja. Tapi jangan kembali.” Kalimat itu datang dari seorang kawan seperjuangan, atau dulu kusebut begitu.
Lucu, ya. Dulu kami sama-sama teriak soal ukhuwah, solidaritas, bahkan katanya sampai surga bareng-bareng. Tapi rupanya surga pun ada pintu keluarnya. Aku dianggap mengkhianati “jalan lurus” hanya karena mulai bertanya, hanya karena bilang bahwa hidup tidak bisa selalu dilihat hitam putih.
Aku pergi tanpa drama, hanya meninggalkan buku-buku yang dulu kucatat penuh semangat. Bukan karena aku benci, tapi karena aku bosan dengan kaku. Bosan dengan klaim “kami paling benar”, seakan Tuhan punya satu cabang resmi di bumi, lengkap dengan kartu anggotanya.
Sekarang aku berjalan sendiri, kadang tersandung, kadang bingung. Tapi anehnya, aku lebih tenang. Tidak lagi sibuk mengukur iman orang lain, tidak lagi terbebani harus selalu terlihat saleh di depan jamaah.
Sesekali, ada pesan masuk: “Kapan balik lagi?” Aku tersenyum. Mereka pikir aku tersesat. Padahal, mungkin justru aku sedang pulang ke diriku sendiri.
Pergi dan jangan kembali—itu dulu ancaman. Tapi sekarang, aku justru berterima kasih. Karena kalimat itulah yang membuatku berani menutup pintu, dan membuka jendela yang lain.
Komentar
Posting Komentar