“Serius, Bro, kita penjarain aja biar kapok!” tulis akun dengan foto profil masjid, tapi kalau diintip isi feed-nya penuh jualan madu sunnah dan minyak zaitun.
Aku ngakak. Bayangin, aku dipenjara cuma karena status di Facebook: “Partai Keadilan Sejahtera dan Jamaah Tarbiyah ini kok makin mirip fanbase K-Pop, ya? Ributnya nggak kira-kira.”
Sejak itu linimasa kayak pasar malam. Ada yang teriak aku liberal, ada yang nuduh aku agen Yahudi, ada juga yang lebih kreatif: “Dia ini cebong bersarung!”
Yang bikin ngakak lagi, ada kawan lama dari jamaah yang japri:
“Mas, hati-hati ya. Serius, ada rencana laporan polisi. Tapi tenang, nggak jadi. Mereka masih inget, dulu ente yang bantu ngurus izin demo akbar di Senayan. Kalo nggak, acara bisa bubar sebelum mulai.”
Aku cuma bisa garuk kepala. Jadi ternyata jasa masa lalu masih jadi jimat pengaman.
Di medsos, drama makin seru. Akun-akun anonim bikin thread panjang, lengkap dengan potongan ayat, seakan-akan aku ini penjahat negara. Sementara aku? Lagi santai di warung, nyruput es teh manis, sambil ketawa baca komen:
“Dia ini mantan aktivis, sekarang ateis. Astaghfirullah, unfollow segera!”
Jadi begini, ternyata niat penjara bisa bubar bukan karena aku salah atau benar, tapi karena ada “nota jasa” yang belum kadaluarsa.
Kocak kan? Di dunia nyata, aku dianggap pahlawan lama. Tapi di dunia maya, aku masih laku dijual buat bahan keributan.
Komentar
Posting Komentar