Di jalanan, suara massa bergemuruh. Poster-poster diangkat tinggi, teriakan tuntutan menggema, dan di tengah kerumunan itu ada yang tumbang. Seorang demonstran, yang datang dengan niat menyuarakan kegelisahan rakyat, justru pulang tinggal nama. Korban jiwa dalam aksi demo bukan lagi sekadar berita, melainkan luka kolektif bangsa. Luka yang tak hanya menimpa keluarga korban, tetapi juga merobek rasa keadilan masyarakat. Di sisi lain, tindakan aparat yang seharusnya mengayomi justru memicu amarah. Gas air mata ditembakkan sembarangan, pentungan diayunkan tanpa pandang bulu. Arogansi aparat semakin menegaskan jurang antara rakyat dan negara. Bukannya menenangkan situasi, kekerasan itu malah menyulut api yang lebih besar. Tak heran bila kemarahan publik kemudian meluap. Rumah anggota DPR menjadi sasaran penjarahan, simbol kekecewaan terhadap wakil rakyat yang dianggap tuli terhadap jeritan rakyat. Bagi sebagian orang, tindakan itu mungkin salah. Tetapi dalam logika kemarahan massa, ia menj...