Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2025

Kok, Kamu Berubah, Enggak Seperti Dulu?

Perubahan perilaku dan karakter seseorang sering kali menjadi misteri bagi orang-orang di sekitarnya. Seseorang yang dulu dikenal ramah bisa tiba-tiba menjadi pendiam, atau seseorang yang dulunya penuh amarah bisa bertransformasi menjadi jauh lebih sabar. Dalam psikologi, perubahan ini dipahami sebagai hasil interaksi antara pengalaman hidup, lingkungan sosial, dan kondisi internal individu. Ambil contoh sederhana: ada seorang teman yang dulu selalu ceria dan suka bercanda. Setelah ia mengalami kegagalan bisnis besar, ia jadi lebih pendiam dan penuh perhitungan. Bukan karena ia berubah menjadi orang “asing”, tapi karena pengalaman pahit itu membuatnya belajar untuk lebih hati-hati. Begitu juga dengan seseorang yang pernah mengalami toxic relationship—ia mungkin terlihat dingin, padahal sebenarnya sedang melindungi dirinya dari luka serupa. Psikolog Carl Rogers pernah menyebut bahwa manusia adalah makhluk yang terus berkembang menuju aktualisasi diri. Itu berarti perubahan adalah bagian...

Logika, Fakta, dan Realita tentang Tuhan

Perdebatan tentang Tuhan selalu bergerak di antara logika, fakta, dan realita. Sejak zaman filsuf Yunani, pertanyaan ini tak pernah benar-benar selesai. Apakah Tuhan ada sebagai entitas nyata, atau hanya gagasan manusia untuk menjelaskan ketidakpastian hidup? Secara logis, banyak filsuf berusaha membuktikan keberadaan Tuhan. Anselmus misalnya, lewat ontological argument, menyatakan bahwa jika kita bisa membayangkan sosok yang paling sempurna, maka ia harus ada, sebab sesuatu yang sempurna tidak mungkin hanya ada dalam pikiran. Sebaliknya, David Hume menolak argumen itu. Baginya, alam semesta bisa dijelaskan tanpa harus menunjuk Tuhan sebagai sebab pertama. Bertrand Russell bahkan lebih tajam: “Saya tidak percaya pada Tuhan dan keabadian; saya menganggap tidak ada cukup bukti untuk mendukungnya.” Namun, fakta sosial menunjukkan sesuatu yang lain. Umat manusia terus menyembah, berdoa, dan beribadah. Di masjid, gereja, pura, atau vihara, jutaan orang setiap hari melaksanakan ritual untuk ...

Wisata Masa Lalu

Ada semacam wisata yang tidak pernah benar-benar dibuka untuk umum, tapi setiap orang memilikinya: wisata masa lalu. Tempat di mana kita bisa masuk tanpa tiket, tanpa antrean, cukup dengan rindu yang tiba-tiba mengetuk. Aku sering berkunjung ke sana, diam-diam, di sela kesibukan atau saat malam sudah terlalu sunyi. Ada aroma buku tua, tawa yang dulu terdengar renyah, wajah-wajah yang mungkin sudah asing hari ini, tapi masih hangat di ingatan. Rindu itu seperti pemandu wisata yang dengan sabarnya membawa kita menyusuri jalan setapak kenangan, memperlihatkan sudut-sudut yang pernah kita lalui dengan begitu sederhana, tapi sekarang terasa begitu berharga. Di sana, aku bisa kembali ke masa sekolah yang penuh keriangan, ke obrolan kampus yang penuh mimpi, atau ke rumah tua yang sekarang mungkin sudah lapuk. Setiap ruangnya menyimpan gema yang tak lagi bisa disentuh, tapi bisa dirasakan. Namun, wisata ke masa lalu juga menyimpan paradoks. Semakin sering aku masuk ke sana, semakin aku sadar: ...

Kenangan, Luka dan Trauma

Ada orang bilang, kenangan masa lalu itu sebaiknya dilupakan, apalagi kalau penuh luka dan trauma. Tapi bagiku, justru kenangan itu bukan untuk dihapus. Ia tetap ada, menempel, kadang muncul tanpa diundang, seperti bayangan di sore hari. Bedanya, aku belajar untuk tidak lagi takut kepadanya. Aku ingat betul satu masa ketika luka begitu dalam—perasaan ditinggalkan, dikhianati, dan dihancurkan oleh orang yang pernah kupercaya. Awalnya, setiap kali kenangan itu muncul, rasanya seperti dada diremas. Tapi seiring waktu, aku sadar, kenangan ini bisa jadi guru. Trauma memang meninggalkan jejak, tapi jejak itu yang membuatku lebih hati-hati, lebih bijak ketika menghadapi situasi serupa. Dalam catatan harian, aku sering menulis untuk menenangkan diriku sendiri: “hari ini aku belajar lagi dari masa lalu.” Itu jadi cara paling sederhana untuk berdamai dengan diri sendiri. Aku berhenti berusaha melupakan, karena semakin dilawan, semakin kuat ia menghantui. Najwa Zebian pernah menulis, “Trauma isn’...

Keributan di Linimasa

“Serius, Bro, kita penjarain aja biar kapok!” tulis akun dengan foto profil masjid, tapi kalau diintip isi feed-nya penuh jualan madu sunnah dan minyak zaitun. Aku ngakak. Bayangin, aku dipenjara cuma karena status di Facebook: “Partai Keadilan Sejahtera dan Jamaah Tarbiyah ini kok makin mirip fanbase K-Pop, ya? Ributnya nggak kira-kira.” Sejak itu linimasa kayak pasar malam. Ada yang teriak aku liberal, ada yang nuduh aku agen Yahudi, ada juga yang lebih kreatif: “Dia ini cebong bersarung!” Yang bikin ngakak lagi, ada kawan lama dari jamaah yang japri: “Mas, hati-hati ya. Serius, ada rencana laporan polisi. Tapi tenang, nggak jadi. Mereka masih inget, dulu ente yang bantu ngurus izin demo akbar di Senayan. Kalo nggak, acara bisa bubar sebelum mulai.” Aku cuma bisa garuk kepala. Jadi ternyata jasa masa lalu masih jadi jimat pengaman. Di medsos, drama makin seru. Akun-akun anonim bikin thread panjang, lengkap dengan potongan ayat, seakan-akan aku ini penjahat negara. Sementara aku? Lagi...

Pergi dan Jangan Kembali

Aku masih ingat malam itu, tepat di serambi masjid kampus, udara dingin, tapi kata-kata yang keluar lebih panas dari kopi yang belum sempat kuminum. “Kalau memang nggak cocok lagi, pergi saja. Tapi jangan kembali.” Kalimat itu datang dari seorang kawan seperjuangan, atau dulu kusebut begitu. Lucu, ya. Dulu kami sama-sama teriak soal ukhuwah, solidaritas, bahkan katanya sampai surga bareng-bareng. Tapi rupanya surga pun ada pintu keluarnya. Aku dianggap mengkhianati “jalan lurus” hanya karena mulai bertanya, hanya karena bilang bahwa hidup tidak bisa selalu dilihat hitam putih. Aku pergi tanpa drama, hanya meninggalkan buku-buku yang dulu kucatat penuh semangat. Bukan karena aku benci, tapi karena aku bosan dengan kaku. Bosan dengan klaim “kami paling benar”, seakan Tuhan punya satu cabang resmi di bumi, lengkap dengan kartu anggotanya. Sekarang aku berjalan sendiri, kadang tersandung, kadang bingung. Tapi anehnya, aku lebih tenang. Tidak lagi sibuk mengukur iman orang lain, tidak lagi ...

Korban Aksi, Arogansi Aparat, dan Kemarahan Publik

Di jalanan, suara massa bergemuruh. Poster-poster diangkat tinggi, teriakan tuntutan menggema, dan di tengah kerumunan itu ada yang tumbang. Seorang demonstran, yang datang dengan niat menyuarakan kegelisahan rakyat, justru pulang tinggal nama. Korban jiwa dalam aksi demo bukan lagi sekadar berita, melainkan luka kolektif bangsa. Luka yang tak hanya menimpa keluarga korban, tetapi juga merobek rasa keadilan masyarakat. Di sisi lain, tindakan aparat yang seharusnya mengayomi justru memicu amarah. Gas air mata ditembakkan sembarangan, pentungan diayunkan tanpa pandang bulu. Arogansi aparat semakin menegaskan jurang antara rakyat dan negara. Bukannya menenangkan situasi, kekerasan itu malah menyulut api yang lebih besar. Tak heran bila kemarahan publik kemudian meluap. Rumah anggota DPR menjadi sasaran penjarahan, simbol kekecewaan terhadap wakil rakyat yang dianggap tuli terhadap jeritan rakyat. Bagi sebagian orang, tindakan itu mungkin salah. Tetapi dalam logika kemarahan massa, ia menj...

Aksi Massa dan Harapan Perubahan

Hari ini, politik Indonesia terasa seperti panggung besar, di mana aksi massa menjadi salah satu cara rakyat mengekspresikan suara. Dari jalanan Jakarta hingga alun-alun kota kecil, spanduk dan teriakan massa seringkali mewakili rasa frustrasi terhadap harga kebutuhan pokok yang naik, kebijakan yang dirasa tak adil, hingga praktik politik yang dianggap hanya menguntungkan elite. Aksi massa ini lahir sebagai akibat dari kekecewaan panjang: jurang antara janji politik dan kenyataan yang rakyat hadapi sehari-hari. Namun, seperti dicatat oleh Prof. Azyumardi Azra, politik Indonesia seringkali lebih sibuk dengan “politik kekuasaan” ketimbang politik kebijakan. Sementara itu, Ekonom Faisal Basri mengingatkan bahwa stabilitas politik tanpa perbaikan ekonomi hanya akan menjadi hiasan kosong. Keduanya seolah menegaskan: aksi massa hanyalah gejala, bukan akar persoalan. Akibatnya, ketika pemerintah tidak mendengar, aksi massa akan terus meletup. Tapi kalau sekadar berteriak di jalan tanpa arah, ...