Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2024

Teori Struktur menurut Pierre Bourdieu

Pierre Bourdieu, seorang filsuf dan sosiolog Prancis, memperkenalkan teori struktur, habitus, kapital, arena, dan pembeda yang sangat relevan bahkan dalam konteks kehidupan beragama saat ini. Menurut Bourdieu, setiap individu hidup dalam struktur sosial yang membentuk cara mereka berpikir dan bertindak. Struktur ini tidak terlihat, tetapi secara halus memengaruhi bagaimana kita memandang dunia, termasuk dalam beragama. Konsep habitus adalah pola berpikir, sikap, dan kebiasaan yang terbentuk dari pengalaman hidup, termasuk bagaimana seseorang menjalani dan mengekspresikan keyakinannya. Misalnya, seseorang yang besar dalam keluarga yang sangat religius akan memiliki habitus tertentu yang membuatnya terbiasa dengan ritual-ritual atau nilai-nilai tertentu dalam agamanya. Habitus ini membuat seseorang merasa bahwa cara beragamanya adalah yang "benar." Kemudian, ada kapital, yang tidak hanya berarti ekonomi tetapi juga mencakup kapital sosial, budaya, dan simbolik. Dalam kehidupan ...

Menjadi Dewasa itu Melelahkan ya?

Dewasa itu bukan cuma soal umur, tapi soal bagaimana hidup mulai mengubah cara kita memandang dunia. Dulu, waktu sekolah, tiap hari terasa kayak petualangan seru. Sepulang sekolah, nongkrong bareng teman-teman, main bola di lapangan, dan ketawa-ketiwi tanpa beban. Semua itu kayak film komedi yang nggak ada habisnya. Lalu, masuk masa kuliah, kita mulai semangat ikut organisasi, demo sana-sini, ngerasa jadi agen perubahan. Idealismenya menggebu-gebu. Berdebat sampai larut malam di warung kopi, ngerasa suara kita bakal mengubah negeri ini. Tapi sekarang? Semua keriangan itu berubah jadi rutinitas: kerja dari pagi sampai malam, pulang capek cuma pengen tidur, bangun lagi esok harinya. Weekend yang dulu penuh acara seru bareng teman, sekarang diisi ngurus cucian, bayar tagihan, atau ngajak anak jalan-jalan. Aktivisme yang dulu dibela mati-matian kini jadi kenangan masa muda, karena realitasnya, hidup nggak bisa sekadar berteriak “hidup rakyat!” Menjadi dewasa bukan berarti kita nggak boleh ...

Luka itu Valid dan Fokuslah untuk Sembuh

Ketika seseorang melukai kita, sering kali kita sibuk mencari tahu mengapa itu terjadi. Kita ingin penjelasan, alasan, atau mungkin rasa keadilan. Namun, pada kenyataannya, alasan di balik perbuatan mereka tidak lebih penting daripada kenyataan bahwa kita terluka. Dalam proses mencari alasan, kita bisa tersesat di lautan pertanyaan yang tak berujung, menyelam dalam kekhawatiran yang dalam hingga sulit untuk naik ke permukaan. Pernahkah kamu merasakan betapa melelahkannya mengulang kejadian itu dalam pikiran, berharap menemukan makna atau sebab yang bisa membuat rasa sakit terasa lebih masuk akal? Namun, meskipun kita terus mencari, jawabannya tidak pernah muncul dengan jelas. Semua hanya meninggalkan kita dalam kondisi lelah dan semakin terluka. Mirip seperti berusaha mencari sebutir debu di tengah samudera luas, pencarian itu tidak akan membawa kita ke mana-mana. Lebih baik kita berhenti mencari alasan dan mulai fokus pada penyembuhan. Menerima bahwa kita terluka bukanlah tanda kelema...

Kedamaian Apa yang Kamu Cari?

Kita sering mendambakan kedamaian pikiran. Rasanya wajar saat kita berpikir, "Saya harus lebih tenang, lebih damai." Tapi, pernahkah kita mempertanyakan ini: Bisakah pikiran benar-benar damai? Pikiran bisa mencoba menciptakan kedamaian, bahkan memaksakan diri untuk tenang, tetapi apakah itu berarti pikiran itu sendiri damai? Jika dipikirkan lebih dalam, pikiran pada dasarnya selalu sibuk. Ia terus bergerak, meloncat dari satu hal ke hal lain, merencanakan masa depan, menyesali masa lalu, atau khawatir tentang apa yang sedang terjadi. Bahkan ketika kita berusaha mencapai kedamaian, pikiran sibuk menciptakan strategi untuk “menjadi” tenang. Ironisnya, usaha untuk menjadi damai itu sendiri adalah bentuk kegelisahan. Ketenangan yang kita cari-cari sebenarnya tidak bisa dihasilkan oleh pikiran, karena pikiran itu sendiri adalah sumber kegelisahan. Jadi, pertanyaannya bukan tentang bagaimana membuat pikiran menjadi damai, melainkan menyadari sifat gelisah dari pikiran itu sendiri. ...

Bagi-Bagi Kekuasaan dalam Politik

Teori patronase adalah konsep yang menjelaskan bagaimana kekuasaan dibagi-bagikan setelah seorang pemimpin politik berhasil meraih posisi penting, seperti presiden. Dalam politik demokratis, patronase menjadi salah satu cara efektif untuk mempertahankan dukungan politik dengan memberikan imbalan berupa jabatan, posisi strategis, atau sumber daya lainnya kepada individu atau kelompok yang telah mendukung kemenangan pemimpin tersebut. Jean-François Bayart, seorang ilmuwan politik, pernah mengatakan, “Politik patronase adalah seni membagi kue kekuasaan.” Ungkapan ini menggambarkan bagaimana kekuasaan tidak didistribusikan berdasarkan kompetensi semata, tetapi juga melalui loyalitas politik. Dalam praktik patronase, jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan, seperti menteri, kepala lembaga negara, dan posisi strategis lainnya, diberikan kepada orang-orang yang merupakan bagian dari koalisi politik atau pendukung dekat sang pemimpin. Tujuan utama dari pemberian jabatan ini adalah untuk men...

Kritik Betrand Russel Terhadap Segala Sesuatu Ada Sebab dan Penciptanya

Bertrand Russell, seorang filsuf dan logikawan terkenal, secara tegas menolak gagasan bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan atau entitas supranatural. Dalam pandangannya, alam semesta tidak memerlukan pencipta dan hanya "ada begitu saja." Russell menolak argumen bahwa segala sesuatu harus memiliki sebab, yang menjadi dasar argumen penciptaan. Ia berpendapat bahwa meskipun benda-benda kecil di alam semesta, seperti meja atau rumah, memerlukan pembuat, tidak ada alasan untuk menerapkan logika yang sama pada alam semesta secara keseluruhan. Russell mengkritik argumen kosmologis yang menyatakan bahwa segala sesuatu membutuhkan sebab, termasuk alam semesta. Menurutnya, ini adalah asumsi yang tidak bisa dibuktikan. Russell menegaskan bahwa alam semesta mungkin tidak memiliki sebab pertama atau pencipta, dan itu bukanlah masalah yang harus dipecahkan. Baginya, alam semesta bisa saja "ada" tanpa memerlukan penjelasan lebih lanjut. Sebagai contoh kehidupan sehari-hari, Ru...

David Hume: Alam Semesta Tidak Diciptakan oleh Tuhan

David Hume, seorang filsuf Skotlandia, memiliki pandangan yang cukup unik dan radikal tentang alam semesta. Menurut Hume, gagasan bahwa alam semesta harus diciptakan oleh sesuatu atau seseorang, seperti Tuhan, hanyalah asumsi manusia yang didasarkan pada kebiasaan berpikir, bukan fakta yang terbukti. Dalam pandangan Hume, kita terbiasa melihat bahwa segala sesuatu di sekitar kita memiliki sebab, seperti meja yang dibuat oleh tukang kayu atau pohon yang tumbuh dari biji. Namun, Hume menolak pandangan ini ketika diterapkan pada alam semesta. Hume berpendapat bahwa tidak ada alasan kuat untuk percaya bahwa alam semesta harus memiliki pencipta. Mengapa kita harus berasumsi bahwa alam semesta bekerja dengan prinsip yang sama seperti benda-benda kecil yang ada di dalamnya? Bagi Hume, itu adalah bentuk antropomorfisme—memproyeksikan cara berpikir manusia ke dalam skala yang jauh lebih besar. Selain itu, Hume juga menekankan bahwa kita tidak memiliki pengalaman langsung dengan penciptaan alam ...

Bahagia Itu Tidak Sederhana

Bahagia, sering disebut sebagai sesuatu yang sederhana. Namun, sebenarnya, apakah benar sesederhana itu? Bahagia selalu digambarkan sebagai sebuah kondisi yang mudah diraih, sebuah perasaan yang datang tanpa syarat. Tetapi kenyataannya, kebahagiaan adalah teka-teki yang rumit. Kita mengejarnya seolah ia hanya selangkah di depan, namun semakin dikejar, semakin jauh ia menjauh. Kita berusaha meraih bahagia dengan mengumpulkan segala hal yang kita anggap bisa memberikannya: materi, cinta, pencapaian. Namun, begitu semua itu terkumpul, kita menyadari ada ruang kosong yang tak bisa diisi. Bahagia, seperti bayangan di cermin, tampak nyata namun tak bisa disentuh. Dalam pencarian itu, kita mungkin sesekali menemukannya, dalam tawa atau momen singkat. Tetapi ia segera menghilang, digantikan oleh keresahan baru. Bahagia tidak permanen, ia berubah, mengalir bersama waktu, tak pernah menetap. Mungkin itulah kenyataannya: bahagia tidak pernah dimaksudkan untuk kita genggam selamanya. Ia datang seb...

Bukan Kendali Diri, Tapi Pemahaman dan Pengamatan

Kita tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan ajaran tentang pentingnya kontrol. Agama, filsafat, para guru, dan bahkan keluarga kita, semua mengajarkan bahwa mengendalikan pikiran, emosi, dan tindakan adalah kunci menuju kehidupan yang lebih baik. Kita diajarkan untuk menahan amarah, menekan kesedihan, dan mengendalikan ketakutan. Namun, di balik semua itu, pernahkah kita benar-benar bertanya: siapa yang mengontrol? Siapa sebenarnya sang pengendali? Pertanyaan ini jarang diajukan karena kita begitu sibuk berusaha mengendalikan segala hal. Dalam narasi hidup, kita percaya bahwa "aku" yang mengontrol adalah entitas nyata, bahwa kita bisa menundukkan segala ketidakpastian dan kekacauan dengan disiplin pikiran. Namun, jika kita berhenti sejenak dan mengamati lebih dalam, kita mulai melihat bahwa "aku" yang mengontrol itu hanyalah sebuah konstruksi pikiran, dibentuk oleh masa lalu, pengalaman, serta kondisi sosial. Ironisnya, semakin kita berusaha mengendalikan, semaki...

Hidup Setelah Kematian Ideologis

Aku ingat hari itu dengan sangat jelas—hari ketika aku “meninggal.” Bukan meninggal dalam arti fisik, tapi lebih seperti kematian batin, kematian dari jati diriku yang dulu. Sore itu, di sebuah pertemuan terakhir di komunitas yang dulu selalu aku banggakan, aku menyadari sesuatu yang mengubah segalanya. Aku duduk di tengah-tengah mereka, mendengarkan ceramah yang sudah begitu akrab di telinga, tapi tiba-tiba rasanya asing, seperti mendengar bahasa yang tak lagi kupahami. Aku menatap sekeliling. Wajah-wajah yang dulu penuh semangat kini tampak hampa di mataku. Suara penceramah yang berapi-api tentang kebenaran mutlak terdengar bising, tidak lagi menyentuh hatiku seperti dulu. Dalam satu momen itu, aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang terlepas dari dalam diriku—seperti sebuah rantai yang putus. Aku mati di sana, bukan secara fisik, tapi secara ideologis. Aku tidak lagi menjadi bagian dari mereka. "Kenapa kau tidak merespons?" tanya seorang teman di sebelahku, mencoba menarik...

Memahami Diri Sendiri = Menjadi Apa Adanya

"Untuk memahami diri sendiri, kamu harus tahu siapa dirimu sebenarnya, bukan siapa yang kamu pikir seharusnya." Kalimat ini, jika dipikirkan dalam-dalam, mengajarkan kita untuk berhenti berpura-pura atau berusaha menjadi orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali hidup dengan ekspektasi, baik dari diri sendiri maupun dari orang lain, tentang siapa yang seharusnya kita jadi. Kita menetapkan standar yang seringkali tidak realistis dan akhirnya menjauhkan diri dari kenyataan. Bayangkan seseorang yang terus-menerus merasa harus sukses dengan cara tertentu—harus menjadi kaya, terkenal, atau selalu dipuji. Padahal, jauh di dalam dirinya, ada keinginan yang berbeda, mungkin lebih sederhana, lebih damai. Dia menjalani hidup bukan sebagai dirinya yang sebenarnya, tetapi sebagai bayangan dari apa yang dianggap "ideal" oleh masyarakat atau lingkungan. Memahami diri berarti mengenali siapa kita tanpa filter, tanpa ilusi. Ini bukan perjalanan yang mudah, karena ki...

Merayakan Kematian Saat ini dan Di Sini

Ketika kita mencintai kehidupan sepenuhnya dan hidup dengan penuh kesadaran di momen sekarang, perspektif terhadap kematian bisa berubah secara mendasar. Alih-alih melihatnya sebagai sesuatu yang harus ditakuti, kita mulai memandangnya sebagai bagian alami dari perjalanan manusia. Hidup sepenuh hati berarti menerima bahwa setiap momen memiliki nilai intrinsik, dan kematian hanyalah fase berikutnya.  Dengan cara ini, kematian tidak lagi terasa seperti akhir yang menakutkan, melainkan seperti perpindahan menuju dimensi lain—sebuah perjalanan yang layak dirayakan. Kita memahami bahwa apa yang kita sebut kematian sebenarnya adalah kelanjutan dari eksistensi, mungkin dalam bentuk atau realitas yang baru. Sebagai bagian dari siklus alam, kematian mengingatkan kita akan keindahan ketidakpastian hidup, namun tanpa perlu tenggelam dalam kecemasan. Orang yang hidup dalam cinta akan saat ini menyadari bahwa dengan menerima ketidaktahuan tentang apa yang akan datang, mereka bisa menyambut kema...