Semenjak bergabung di forum lintas agama saya membiasakan diri berkumpul demi memenuhi undangan sebagai tamu di acara keagamaan umat lain, perayaan tahun baru masehi, perayaan 17 Agustusan, dan buka puasa bersama.
Pada bulan Ramadhan saya mengikuti rangkaian kegiatan ngabuburit dan buka puasa bersama di Gereja, Pure, Vihara dan rumah anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Dalam acara tersebut setiap tokoh agama menjelaskan tradisi puasa ada di setiap agama, yang secara substansial adalah agar mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu.
Saya mencoba memposting setiap kegiatan forum lintas agama ini di media sosial, ketika saya foto di Gereja tepatnya di bawah lambang salib, beberapa teman saya ada yang menuduh saya sudah keluar dari Islam (murtad). Belum lagi pertanyaan dari keluarga sendiri yang menanyakan, mengapa masuk Gereja dan foto di bawah lambang salib?
Padahal sudah saya jelaskan bahwa itu adalah rangkaian dari acara buka puasa bersama di Gereja dan foto tersebut tidak ada bedanya seperti ketika kita sedang foto di candi borobudur yang merupakan tempat suci bagi umat Buddha. Saya pikir itu hal yang wajar dan tidak akan merusak keimanan sama sekali.
Mengapa kita ketakutan dengan simbol salib dan risih masuk ke rumah ibadah agama lain, yang mestinya kita tidak perlu antipati dan alergi karena rumah ibadah sebagai tempat beribadah bagi agama lain sama saja dengan bumi yang kita pijak.
Malah di dalam gereja saya bisa merasakan kesakralan, di vihara saya menemukan kesyahduan, di pure saya merasakan kebersamaan. Hal ini yang demikian saya temukan juga ketika berada di dalam masjid atau mushola.
Artinya setiap rumah ibadah memiliki getaran rasa yang sama ketika kita mau masuk ke dalam demi merasakan dan mengalami suasana sakral, hening dan ketenangan batin.
Semestinya rumah ibadah menjadi tempat yang paling aman dan nyaman bagi siapa saja maupun yang ingin singgah dan mampir bersilaturahmi antar umat beragama, karena kita bisa saling menjaga kedamaian dalam beribadah. Bukan malah menjadi tempat teror bom yang dilakukan oleh terorisme agama.
Di Gereja saya menguji iman dan sama sekali tidak terganggu serta risih saat masuk di dalamnya, sama halnya ketika masuk ke rumah ibadah agama lain. Mungkin diksi menguji iman ini kurang tepat, sebab iman seharusnya diuji dengan cobaan hidup bukan dengan masuk ke Gereja.
Apa beda suka, senang, dan cinta? Selama anda masih belum bisa membedakan ketiga hal itu, maka anda akan salah dalam memaknai cinta. Saya ilustrasikan dalam cerita, Anda membeli hp Android karena melihat banyak teman-teman yang memilikinya dan terlihat keren, saat itu anda berada di wilayah SUKA. Dan suka merupakan wilayah NAFSU. Ketika anda mengetahui fitur, fasilitas dan manfaat Android yang lebih hebat dibandingkan HP jenis lain, maka saat itu anda berada diwilayah SENANG. Dan senang itu tidak menentu, dapat berubah-ubah tergantung kepada MOOD. Saat BOSAN, bersiaplah untuk mengganti HP jenis baru yang lebih canggih. Jadi jelaslah bahwa, Selama ini CINTA yang kita yakini sebagai cinta baru berada dalam wilayah SUKA dan SENANG. BOHONG! Jika anda berkata, gue JATUH CINTA pada pandangan pertama. Sesungguhnya saat itu anda sedang berkata, gue NAFSU dalam pandangan pertama. Mengapa demikian? Karena cinta yang anda maknai baru sebatas SUKA. Suka dengan wajahnya yang cantik, se...
Komentar
Posting Komentar