Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2025

Pejabat Digaji 100 Juta Sambil Joget-Joget

Kadang aku nggak habis pikir. Pejabat digaji 100 juta sebulan, fasilitas segalanya lengkap, sementara rakyat disuruh hemat, disuruh bayar pajak, disuruh “sabar demi negara”. Rasanya kayak lagi ngelihatin orang kaya raya makan enak di meja panjang, lalu kita dikasih tulang dan dibilang, “udah syukuri aja, ya.” Aku lihat berita anggota dewan joget-joget, ketawa-ketawa, seolah nggak ada masalah. Padahal di luar gedung megah itu, ada bapak-bapak bingung nyari uang buat beli beras, ada ibu-ibu yang rela ngutang demi bayar sekolah anaknya, ada anak-anak tidur dengan perut kosong. Sakit banget lihat kontrasnya. Kita disuruh patuh aturan, disuruh nurut bayar pajak. Tapi uang pajak itu sering nggak balik ke rakyat. Malah habis buat gaji dan fasilitas mereka yang sudah hidup mewah. Apa mereka pernah benar-benar mikirin gimana rasanya rakyat kecil bertahan di harga-harga kebutuhan yang terus naik? Jujur, aku capek dengar kata-kata manis: “demi kepentingan bangsa, mari kita berhemat.” Karena fakta...

Ingatan Masa Lalu

Ada ingatan-ingatan yang datang seperti bayangan hujan di sore hari. Bukan untuk menenangkan, tapi meninggalkan basah yang dingin di dalam dada. Ingatan masa lalu yang getir: pengkhianatan, kehilangan, atau sekadar keputusan bodoh yang pernah kita buat. Ia menempel di kepala seperti noda yang tak bisa dicuci. Dulu, aku sering bertanya, mengapa harus terus mengingat? Mengapa yang buruk selalu lebih melekat dibanding yang indah? Tapi mungkin begitulah cara hidup mendidik kita. Ingatan yang menyakitkan itu, ternyata, adalah semacam peringatan. Ia menyimpan pesan: “Hati-hati. Jangan ulangi lagi.” Seperti api kecil yang pernah membakar jari, ia membuat kita lebih pelan ketika mendekati bara. Seperti luka yang pernah menganga, ia membuat kita lebih pandai membalut perasaan sebelum berdarah lagi. Ingatan itu, meski pahit, justru menyelamatkan kita di masa depan. Aku mulai belajar menerima, bahwa masa lalu yang buruk tidak sekadar kutukan. Ia bisa berubah menjadi cahaya redup yang menuntun lan...

Aktivis Dakwah yang Berubah menjadi Kaum Liberal

Jadi gini. Hidup itu lucu. Dulu, waktu kuliah, Bima adalah definisi role model versi dakwah kampus: ngomongnya berat, jalannya lurus, dan kalau marah matanya bisa bikin mading rohis bergetar. Dia hafal ayat, hafal orasi, dan hafal nama semua tokoh pergerakan Islam abad 20. Pokoknya, kalau ada “serangan pemikiran” di kampus, dia yang maju duluan. Sekarang? Ya Tuhan. Yang tersisa dari “pejuang akidah” itu cuma akun Instagram dengan bio: Freedom is my only religion. Postingannya? Seperti kuliah filsafat yang ditulis anak magang—nggak jelas, tapi banyak yang merasa keren. Dia pernah nulis, “Tuhan mungkin mati, tapi kopi susu dan rokok linting akan selalu hidup.” Lalu upload foto dirinya di bar, lengkap dengan ekspresi look at me, I’m profound. Aku nggak tahu kapan tepatnya dia pindah keyakinan—atau pindah kesetiaan. Katanya sih, semua berawal waktu kerja di NGO internasional, ketemu orang-orang liberal dari lima benua. Dari situ, Bima mulai “melepaskan” semua beban moral kampus. Katanya, h...

Ketuhanan Tanpa Tuhan

Beberapa waktu lalu, aku ngobrol sama seorang teman yang bilang, “Aku nggak percaya Tuhan sebagai sosok, tapi aku percaya pada ketuhanan.” Awalnya aku bingung. Tapi setelah dia jelasin, aku paham maksudnya: yang dia maksud bukan menolak nilai-nilai luhur, tapi menolak membayangkan Tuhan sebagai “pribadi” di awan yang memantau hidup kita. Ketuhanan, kata dia, adalah praktik. Ia bukan soal menghafal nama-nama suci atau memikirkan bentuk Tuhan yang tak pernah kita lihat. Ketuhanan itu ya… ketika kita berlaku adil meski tidak ada yang melihat, ketika kita menolong orang tanpa pamrih, ketika kita menjaga janji walau itu merugikan diri sendiri. Sifat-sifat yang sering kita sebut sebagai “sifat Tuhan”—penyayang, pengampun, adil—itu yang harus kita hidupkan. Kalau dipikir, banyak orang yang percaya Tuhan tapi jarang menghidupi ketuhanan. Rajin ibadah, tapi mudah marah. Hafal kitab suci, tapi suka menipu. Ketuhanan, dalam arti ini, menjadi lebih nyata daripada Tuhan yang sekadar jadi konsep ata...

Kesendirian Bukan Kesepian

Kadang kita duduk sendirian di kamar, atau berjalan di trotoar kota yang ramai, tapi entah kenapa merasa kosong. Itu kesepian — rasa terpisah dari sesuatu yang dulu mengisi kita. Kesepian biasanya lahir dari kehilangan, entah orang, tempat, atau perasaan yang dulu kita miliki. Ia membawa kenangan, perbandingan, dan harapan yang tak tercapai. Tapi ada bentuk “sendiri” yang lain. Bukan kesepian, bukan juga sekadar menikmati waktu me-time. Ini adalah keadaan yang tidak disentuh pikiran, tidak dibentuk oleh tradisi, kata-kata, atau pengaruh orang lain. Jiddu Krishnamurti menyebutnya sebagai keadaan murni yang tidak berasal dari ingatan atau pengenalan. Bayangkan berdiri di tepi pantai saat senja, tanpa memikirkan siapa yang sedang menunggu, atau foto apa yang harus diunggah. Tidak ada “aku” yang sedang membandingkan diri dengan orang lain. Yang ada hanya suara ombak, angin asin, dan keberadaan yang utuh. Itulah “sendiri” yang dimaksud. Kesendirian ini adalah berkat, karena ia membebaskan k...

Tuhan Bukan Semesta, dan Semesta Bukan Tuhan

Akhir-akhir ini aku sering dengar orang bilang, “Semesta sedang mendukung,” atau “Titipkan pada semesta, nanti semesta kasih jalan.” Di media sosial, ungkapan itu terdengar indah, terasa spiritual, bahkan meyakinkan. Tapi jujur saja, aku mulai merasa ada yang kabur dalam pemahaman itu. Tuhan dan semesta adalah dua entitas berbeda. Tuhan—dalam hampir semua tradisi agama—adalah sumber dari segala yang ada, tidak terikat ruang dan waktu. Sementara semesta? Ia adalah ciptaan, bukan pencipta. Ia tunduk pada hukum fisika, sebab-akibat, dan terbatas pada logika alam. Menyamakan semesta dengan Tuhan sama seperti menyamakan lukisan dengan pelukisnya. Beberapa orang mungkin merasa nyaman dengan konsep “semesta mengatur”, karena lebih netral dan tak mengikat seperti konsep Tuhan dalam agama. Tapi di situlah jebaknya: kita jadi lupa bahwa yang benar-benar bisa mendengar niat, menilai usaha, dan memberi balasan itu bukanlah semesta—melainkan Tuhan yang menciptakan semesta itu sendiri. Semesta tidak...

Jangan Naik Haji, Jika Tak Mampu

Hari itu, aku duduk berdua dengan ayah di teras rumah. Kami membicarakan tetangga yang baru saja menjual sawah demi berangkat haji. Tak ada yang salah dengan niat ibadah. Tapi ayah menggumam pelan, “Kalau buat haji harus ngutang, anak putus sekolah, apa iya itu yang Tuhan mau?” Pikiranku tak tenang sejak itu. Dalam tradisi kita, naik haji adalah puncak ibadah, semacam “gelar kehormatan” rohani. Namun, di dunia hari ini yang makin kompleks, aku mulai mempertanyakan: apakah pergi ke Mekkah lebih penting daripada menyekolahkan anak sampai kuliah? Lebih utama dari melunasi utang yang membebani orang lain? Apa Tuhan lebih mendengar doa dari Ka'bah dibanding dari dapur seorang ibu yang berjuang memberi makan anaknya? Secara filosofis, haji memang simbol penyatuan, pengorbanan, dan ketundukan pada Tuhan. Tapi simbol tak lebih penting dari makna. Jika makna itu bisa diwujudkan lewat tindakan konkret — menolong sesama, menyelesaikan tanggung jawab, mencintai keluarga — bukankah itu lebih sp...