Maraknya orang yang haus akan keislaman, mengantarkan seseorang untuk mengkaji ilmu ke para alim ulama yang secara keilmuan sudah faqih dan mumpuni di bidangnya.
Canggihnya, tidak usah berpayah payah lagi mendatangi silaturrahim, mengaji beberapa tahun, banyak membaca literatur para alim ulama. Cukup searching sebentar di google, maka dengan sekejab Anda bisa mendadak menjadi paham agama.
Proses islamisasi selain melalui google, gencar juga melalui video di media sosial seperti youtube, instagram dan facebook. Duduk sejenak, melihat dan mendengarkan kemudian menyimpulkan sendiri, sudah bisa menjadi ahli tafsir dan juru dakwa yang pintar menerjemahkan problematika umat.
Ya semacam ngaji online gitu lah, lebih cepat dari pesantren kilat yang biasa diselenggarakan 2 sampai 7 hari di sekolahan. Ngaji Online bisa secara cepat merubah cara berpikir dan kefanatikan seseorang dengan sekali duduk. Hebat, bukan?
Mulai bermunculan ustadz-ustadz yang terkenal di media sosial, mulai dari Ustadz Abdul Shomad, Ustadz Adi Hidayat, Ustadz Khalid Basalamah, Ustadz Firanda, Ustadz Salim Fillah. Ustadz Felix Siauw, Cak Nun, Yai Ulil Abshar Abdalla, dan sebagainya.
Tinggal pilih suka sama gaya dakwah Ustadz yang mana? karena isi pikiran dan pendapat kita tergantung pilihan dari dominasi ceramah ustadz yang kita sukai itu.
Perubahan instan ini, sangat prematur dan menjadi kaku persis seperti kanebo kering. Mudah untuk mengkafirkan, terburu-buru mengatakan membid'ahkan sampai bising di media sosial untuk ribut berdebat, adu pendapat, dan asik menyalahkan orang lain. Sudah merasa paling benar sendiri, golongan yang paling nyunnah.
Padahal ada ribuan literatur yang harus di baca dan mau bertabayun dengan mendengarkan kajian yang diselenggarakan oleh ulama yang lain, agar sudut pandang dan pemahaman menjadi luas dan lentur.
Jadi, pertanyaan yang mendasar untuk mengendalikan diri kita, sudah berapa banyak buku yang dibaca? sudah ngaji sejauh mana dengan ustadz yang berbeda?
Hal tersebut untuk bisa proporsional dalam menimbang ilmu islam yang beragam dari berbagai sumber. Tidak keberpihakan yang pada akhirnya menyalahkan orang lain tanpa ilmu, dan tanpa mau mendengar terlebih dahulu.
Tidak akan membuat Anda menjadi bingung, sebab sudah ada bekal ilmu perbandingan salah dan benar. Nantinya ada nalar berfikir dan kecenderungan yang menuntun kepada pilihan kita sendiri.
Paling penting kita menjadi lebih bijak dan mengetahui khasanah ilmu islam yang beragam. Tidak bisa diseragamkan dan di sentralisasi menjadi satu paham saja, karena kita punya banyak ahli tafsir yang berbeda-beda cara menafsirkan suatu dalil.
Keberpihakan kepada suatu pemahaman dan ajaran islam tertentu adalah prihal yang lazim adanya. Namun dapat menghargai dan memaklumi pluralitas dalam berislam harus diperkuat kembali. Agar keindahan islam tidak menjadi rusak hanya karena kebisingan perbedaan pendapat.
Cilegon, 05022018
Roby Martin
Komentar
Posting Komentar