Dulu saya pernah beli sewaktu masih jomblo, buku yang berjudul, menikah untuk bahagia. Baru baca sebentar di pengantar dan judul, saya berhenti dan berfikir.
Hmm apa iya nikah itu isinya kebahagiaan terus? Padahal di luaran sana banyak yang cerai dan bertengkar.
Tapi yo wis, namanya juga buku yang tujuan nya adalah memotivasi agar segera menikah, saya selesaikan membacanya hingga halaman terakhir.
Saya bawa teori yang ada di buku pernikahan, dan hasilnya luar biasa. Saya tidak bisa mengaplikasikannya. Haha..
Teori dan motivasi serta kisah penuh hikmah itu hanya menggugah tapi tidak merubah. Beda yang dibaca dan beda lagi yang di praktekan.
Layaknya kehidupan, kadang ada susah dan ada juga senang. Ada bahagia dan ada juga kesulitan. Semuanya bergulir dan mengalir bergantian sepanjang waktu.
Teringat ceramahnya KAS tentang senang susah, mulur, mungkret yang mengajarkan silih bergantinya rasa senang dan susah. Tidak ada yang abadi. Tidak ada seseorang yang terus terusan bahagia karena pasti nanti merasakan susah pula. Begitupun sebaliknya.
Kalau sudah begini buang jauh jauh bermimpi bahwa pernikahan itu untuk meraih kebahagiaan.
Iklan di luaran sana biasanya pintar mengemas kesan saja. Era media sosial kebanyakan menampilkan keindahan pernikahan melalui foto fotonya. Menutupi aib rumah tangga dan pertengkaran suami istri.
Ini tentu baik, berbagi kebahagiaan dan menyelesaikan urusan rumah tangga di rumah secara baik baik.
Meski ada juga yang bocor, urusan masalah rumah tangga di bawa bawa ke media sosial. Mesti ramai dan rusuh. Dampaknya jelek buat suami begitupun istri.
Mungkin kita mengubah bahwa menikah bukan untuk bahagia, tapi menikah untuk menerima kebahagiaan sekaligus kesulitan.
Menjadi lebih dewasa menyikapi pertengkaran, mereduksi amarah dengan keramahan, menyelesaikan salah paham dengan perhatian dan pengertian, berbahagia tanpa harus ditentukan oleh status menikah atau jomblo.
Cilegon, 27122017
Roby Martin
Komentar
Posting Komentar