Di tengah masyarakat yang makin mudah terbelah karena isu agama, keberadaan komunitas lintas iman seperti oasis di tengah padang konflik. Mereka bukan sekadar kelompok diskusi, tapi ruang kecil yang mempraktikkan kemanusiaan di atas sekat keyakinan. Di komunitas seperti ini, orang-orang duduk sejajar—tanpa gelar, tanpa atribut, tanpa niat mengislamkan, mengkristenkan, atau menbuddhakan siapa pun. Hanya manusia yang berbagi kisah tentang kehidupan, penderitaan, dan harapan. Saya masih ingat pertemuan lintas agama pertama yang saya datangi. Ada seorang pastor berkata, “Kita tidak perlu seragam untuk bisa bersatu.” Lalu disambung seorang ustadz, “Kerukunan itu bukan hasil dakwah, tapi hasil empati.” Di pojok ruangan, seorang bhiksu tersenyum dan menambahkan, “Kedamaian bukan ketika semua berpikir sama, tapi ketika kita tenang melihat perbedaan.” Kata-kata itu sederhana, tapi dalam. Seolah mereka sepakat bahwa iman bisa menjadi sumber cahaya, bukan sumber panas yang membakar. Namun, saya j...