Malam ini, lampu rumah sakit seperti mata-mata yang tak pernah tidur. Aku duduk di kursi plastik, menjaga istri yang baru saja keluar dari operasi kista. Semua terasa pelan—detak infus, nafasnya yang berat, sampai degup jantungku sendiri.
Tidak ada keluarga yang datang. Tidak ada saudara yang menjenguk. Semua memang atas pilihanku. Aku tidak ingin ada wajah-wajah khawatir yang justru membuat beban semakin berat. Biarlah hanya aku yang tahu, betapa rapuhnya ia saat ini.
“Papah, haus…” katanya lirih. Aku buru-buru mendekat, menyodorkan sedotan ke bibirnya. Tangannya gemetar, matanya sayu. Dan di momen itu, aku merasa seperti anak kecil yang ingin menangis tapi harus kuat.
Sepanjang malam aku belajar jadi perawat, jadi penjaga, jadi teman bicara, bahkan jadi bantal untuknya bersandar. Kadang tubuhku protes—pinggang nyeri, mata perih karena kurang tidur. Tapi aku tetap di sini. Bagaimana mungkin aku pergi, sementara ia berjuang menahan sakit?
Sesekali ponselku bergetar, pesan masuk dari teman: “Butuh bantuan nggak?” Kujawab singkat: “Aman, bro.” Mereka tak perlu tahu, bahwa yang sebenarnya kurasakan adalah kesepian yang dalam.
Tapi di balik kesepian ini, ada ketenangan yang aneh. Seolah-olah dunia hanya tinggal aku dan dia. Tak ada yang lain. Tak perlu yang lain.
Kalau suatu hari ia bertanya, kenapa aku rela menjaga sendiri tanpa minta bantuan siapa pun, mungkin jawabanku sederhana: karena cinta, kadang hanya butuh dua orang untuk merasa lengkap. Dan malam ini, lengkap itu bernama aku dan dia.
Komentar
Posting Komentar