Di tengah masyarakat yang makin mudah terbelah karena isu agama, keberadaan komunitas lintas iman seperti oasis di tengah padang konflik. Mereka bukan sekadar kelompok diskusi, tapi ruang kecil yang mempraktikkan kemanusiaan di atas sekat keyakinan. Di komunitas seperti ini, orang-orang duduk sejajar—tanpa gelar, tanpa atribut, tanpa niat mengislamkan, mengkristenkan, atau menbuddhakan siapa pun. Hanya manusia yang berbagi kisah tentang kehidupan, penderitaan, dan harapan.
Saya masih ingat pertemuan lintas agama pertama yang saya datangi. Ada seorang pastor berkata, “Kita tidak perlu seragam untuk bisa bersatu.” Lalu disambung seorang ustadz, “Kerukunan itu bukan hasil dakwah, tapi hasil empati.” Di pojok ruangan, seorang bhiksu tersenyum dan menambahkan, “Kedamaian bukan ketika semua berpikir sama, tapi ketika kita tenang melihat perbedaan.” Kata-kata itu sederhana, tapi dalam. Seolah mereka sepakat bahwa iman bisa menjadi sumber cahaya, bukan sumber panas yang membakar.
Namun, saya juga melihat sisi lain yang perlu dikritisi. Kadang, komunitas lintas agama terlalu sibuk dengan simbol toleransi—foto bersama, seminar, dan jargon “kita bersaudara”—tanpa benar-benar menyentuh persoalan akar: kemiskinan, diskriminasi, dan ketimpangan sosial yang membuat orang mudah dibenturkan. Dialog lintas iman seharusnya tidak berhenti di meja diskusi, tapi turun ke jalan, ke ruang nyata di mana prasangka tumbuh.
Saran saya sederhana: jadikan komunitas lintas agama bukan ruang formalitas, tapi laboratorium empati. Tempat kita belajar, bukan untuk membenarkan keyakinan masing-masing, tapi untuk memahami kemanusiaan bersama. Sebab pada akhirnya, seperti kata Romo Mangunwijaya, “Agama yang sejati adalah yang membuat manusia semakin manusia.”
Komentar
Posting Komentar