Langsung ke konten utama

Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan

Di tengah masyarakat yang makin mudah terbelah karena isu agama, keberadaan komunitas lintas iman seperti oasis di tengah padang konflik. Mereka bukan sekadar kelompok diskusi, tapi ruang kecil yang mempraktikkan kemanusiaan di atas sekat keyakinan. Di komunitas seperti ini, orang-orang duduk sejajar—tanpa gelar, tanpa atribut, tanpa niat mengislamkan, mengkristenkan, atau menbuddhakan siapa pun. Hanya manusia yang berbagi kisah tentang kehidupan, penderitaan, dan harapan.

Saya masih ingat pertemuan lintas agama pertama yang saya datangi. Ada seorang pastor berkata, “Kita tidak perlu seragam untuk bisa bersatu.” Lalu disambung seorang ustadz, “Kerukunan itu bukan hasil dakwah, tapi hasil empati.” Di pojok ruangan, seorang bhiksu tersenyum dan menambahkan, “Kedamaian bukan ketika semua berpikir sama, tapi ketika kita tenang melihat perbedaan.” Kata-kata itu sederhana, tapi dalam. Seolah mereka sepakat bahwa iman bisa menjadi sumber cahaya, bukan sumber panas yang membakar.

Namun, saya juga melihat sisi lain yang perlu dikritisi. Kadang, komunitas lintas agama terlalu sibuk dengan simbol toleransi—foto bersama, seminar, dan jargon “kita bersaudara”—tanpa benar-benar menyentuh persoalan akar: kemiskinan, diskriminasi, dan ketimpangan sosial yang membuat orang mudah dibenturkan. Dialog lintas iman seharusnya tidak berhenti di meja diskusi, tapi turun ke jalan, ke ruang nyata di mana prasangka tumbuh.

Saran saya sederhana: jadikan komunitas lintas agama bukan ruang formalitas, tapi laboratorium empati. Tempat kita belajar, bukan untuk membenarkan keyakinan masing-masing, tapi untuk memahami kemanusiaan bersama. Sebab pada akhirnya, seperti kata Romo Mangunwijaya, “Agama yang sejati adalah yang membuat manusia semakin manusia.”

Komentar

Tulisan Populer

Apa Beda Suka, Senang, dan Cinta?

Apa beda suka, senang, dan cinta? Selama anda masih belum bisa membedakan ketiga hal itu, maka anda akan salah dalam memaknai cinta. Saya ilustrasikan dalam cerita, Anda membeli hp Android karena melihat banyak teman-teman yang memilikinya dan terlihat keren, saat itu anda berada di wilayah SUKA. Dan suka merupakan wilayah NAFSU. Ketika anda mengetahui fitur, fasilitas dan manfaat Android yang lebih hebat dibandingkan HP jenis lain, maka saat itu anda berada diwilayah SENANG. Dan senang itu tidak menentu, dapat berubah-ubah tergantung kepada MOOD. Saat BOSAN, bersiaplah untuk mengganti HP jenis baru yang lebih canggih. Jadi jelaslah bahwa, Selama ini CINTA yang kita yakini sebagai cinta baru berada dalam wilayah SUKA dan SENANG. BOHONG! Jika anda berkata, gue JATUH CINTA pada pandangan pertama. Sesungguhnya saat itu anda sedang berkata, gue NAFSU dalam pandangan pertama. Mengapa demikian? Karena cinta yang anda maknai baru sebatas SUKA. Suka dengan wajahnya yang cantik, se...

Benturan antara Idealisme dan Realitas

Sendy, sosok aktivis pergerakan mahasiswa yang idealis dan bertanggung jawab dalam memegang amanah di organisasinya. Dalam aksi, dia sering menjadi koordinator lapangan, mempimpin aksi. Mulai dari kebijakan kampus hingga kebijakan pemerintah daerah dan pusat yang tidak memihak kepada rakyat maka Sendy pasti membelanya dengan mengadakan aksi jalanan. Kata-kata yang terlontar dari mulutnya saat orasi, seolah menghipnotis yang mendengarnya, karena di bawakan dengan semangat dan mampu menggerakan massa dengan baik. Selang 6 tahun, saat ia meninggalkan kehidupan kampus dan menjadi pengusaha. Sendy menjadi opportunis dan pragmatis. Mengapa? Karena uang lah yang menjadi segalanya, dan kepentingan lah yang menjadi prioritasnya. Bukan karena lupa nya idealisme yang ia pegang selama ia jadi mahasiswa, namun semuanya berubah ketika uang berbicara. Apalagi saat ini Sendy telah berkeluarga dengan Fenny, aktivis pergerakan mahasiswi yang satu organisasi dengannya. Sendy dan Fenny memiliki 3 ora...