Pagi itu, Karno memandangi layar ponsel dengan wajah masam. Di berandanya, wajah Danu terpampang jelas dalam foto—berdasi merah, tersenyum bersama deretan petinggi partai. Caption-nya berbunyi: “Bersama kawan seperjuangan, saatnya berbuat nyata lewat jalur politik.”
“Lucu,” gumam Karno. “Dulu katanya politik itu najis.”
Ia meneguk kopi sachet yang sudah dingin. Tangannya gemetar sedikit—bukan karena kafein, tapi karena kenangan yang tiba-tiba muncul: Danu yang dulu duduk di serambi masjid kampus, berapi-api bicara tentang amar makruf nahi mungkar, tentang menjaga kemurnian dakwah dari urusan dunia.
Sekarang, Danu itu duduk di kursi kekuasaan.
Siangnya, mereka bertemu di warung soto depan kantor kelurahan. Kebetulan, atau mungkin takdir yang gemar bercanda. Danu datang dengan mobil partai, Karno dengan motor tuanya yang berasap.
“Karno!” seru Danu, senyum lebarnya seperti spanduk kampanye.
“Lama nggak ketemu, Danu,” jawab Karno datar.
Mereka duduk berhadapan. Awalnya basa-basi—tentang harga cabai, macet, dan cuaca. Tapi kemudian percakapan itu tergelincir ke hal-hal yang dulu mereka perjuangkan.
“Sekarang aku ngerti, No,” kata Danu. “Perubahan itu nggak bisa cuma lewat mimbar. Harus lewat kebijakan, lewat sistem. Lewat partai.”
Karno menatapnya tajam. “Lewat kompromi juga, Dan? Lewat janji yang dipelintir?”
“Jangan suuzan. Aku berjuang dari dalam.”
“Dari dalam atau malah larut?”
Sunyi menggantung di antara mereka. Sendok jatuh dari tangan Danu, membentur meja, bunyinya kecil tapi menggema jauh.
Karno berdiri, menghela napas panjang. “Aku bukan pengurus partai, Dan. Tapi aku masih pengurus nurani.”
Danu diam, wajahnya menegang.
“Aku cuma nggak mau perjuangan kita dulu berubah jadi lomba jabatan.”
Sore itu, mereka berpisah tanpa saling menatap.
Beberapa bulan kemudian, Karno melihat berita di televisi: Danu ditangkap karena kasus suap proyek pembangunan rumah ibadah. Karno menatap layar lama sekali.
Ia tak senang, tapi juga tak bisa sedih. Yang tersisa cuma getir.
Malamnya, ia menulis di buku catatan kecilnya:
“Dulu kami berjuang agar Islam tak dijual. Kini, aku hanya berjuang agar tidak membenci kawan sendiri.”
Ia menutup buku itu, menatap langit di luar jendela.
Hujan turun perlahan, seperti doa yang ragu-ragu ingin dikabulkan.
Komentar
Posting Komentar