Dalam beberapa dekade terakhir, pesantren sering dipuji sebagai benteng moral bangsa—tempat menimba ilmu agama sekaligus menempa akhlak. Namun, di balik keteduhan kehidupan santri yang tampak patuh dan berdisiplin, ada satu persoalan yang jarang dibicarakan secara terbuka: budaya feodalisme di lingkungan pesantren. Feodalisme ini muncul ketika penghormatan terhadap kyai atau ustadz berubah menjadi bentuk ketaatan absolut, tanpa ruang bagi santri untuk berpikir kritis atau berdialog terbuka.
Dalam sistem tradisional pesantren, kyai dianggap sebagai sosok yang suci dan tak pernah salah. Segala ucapan dan perintahnya diterima sebagai kebenaran mutlak. Santri yang berani bertanya bisa dicap kurang ajar, dan yang mengkritik bisa dianggap durhaka. Akibatnya, suasana intelektual yang seharusnya tumbuh dalam semangat tafaqquh fiddin—mendalami agama dengan akal dan hati—malah tenggelam oleh budaya hierarki dan kepatuhan membabi buta.
Padahal, Islam sendiri menekankan pentingnya berpikir dan menimbang. Imam Syafi’i bahkan pernah berkata, “Pendapatku benar tapi bisa salah, pendapat orang lain salah tapi bisa benar.” Ini seharusnya menjadi semangat dasar pendidikan pesantren modern: menghormati guru tanpa menghilangkan daya nalar.
Pesantren perlu berbenah, bukan dengan menghapus tradisi, tetapi dengan menempatkan hormat dalam kadar yang sehat. Kyai tetap guru, panutan moral, tapi bukan pemegang monopoli kebenaran. Santri perlu diberi ruang untuk bertanya, berdialog, bahkan berbeda pendapat secara santun.
Pesantren yang membebaskan pikiran justru lebih dekat dengan nilai Islam yang moderat—agama yang mendorong umatnya untuk berpikir, bukan sekadar tunduk. Sebab, ketaatan yang mutlak bukanlah ketundukan tanpa nalar, melainkan kesadaran yang lahir dari pemahaman.
Komentar
Posting Komentar