Langsung ke konten utama

Feodalisme di Lingkungan Pesantren: Antara Hormat dan Taklid Buta

Dalam beberapa dekade terakhir, pesantren sering dipuji sebagai benteng moral bangsa—tempat menimba ilmu agama sekaligus menempa akhlak. Namun, di balik keteduhan kehidupan santri yang tampak patuh dan berdisiplin, ada satu persoalan yang jarang dibicarakan secara terbuka: budaya feodalisme di lingkungan pesantren. Feodalisme ini muncul ketika penghormatan terhadap kyai atau ustadz berubah menjadi bentuk ketaatan absolut, tanpa ruang bagi santri untuk berpikir kritis atau berdialog terbuka.

Dalam sistem tradisional pesantren, kyai dianggap sebagai sosok yang suci dan tak pernah salah. Segala ucapan dan perintahnya diterima sebagai kebenaran mutlak. Santri yang berani bertanya bisa dicap kurang ajar, dan yang mengkritik bisa dianggap durhaka. Akibatnya, suasana intelektual yang seharusnya tumbuh dalam semangat tafaqquh fiddin—mendalami agama dengan akal dan hati—malah tenggelam oleh budaya hierarki dan kepatuhan membabi buta.

Padahal, Islam sendiri menekankan pentingnya berpikir dan menimbang. Imam Syafi’i bahkan pernah berkata, “Pendapatku benar tapi bisa salah, pendapat orang lain salah tapi bisa benar.” Ini seharusnya menjadi semangat dasar pendidikan pesantren modern: menghormati guru tanpa menghilangkan daya nalar.

Pesantren perlu berbenah, bukan dengan menghapus tradisi, tetapi dengan menempatkan hormat dalam kadar yang sehat. Kyai tetap guru, panutan moral, tapi bukan pemegang monopoli kebenaran. Santri perlu diberi ruang untuk bertanya, berdialog, bahkan berbeda pendapat secara santun.

Pesantren yang membebaskan pikiran justru lebih dekat dengan nilai Islam yang moderat—agama yang mendorong umatnya untuk berpikir, bukan sekadar tunduk. Sebab, ketaatan yang mutlak bukanlah ketundukan tanpa nalar, melainkan kesadaran yang lahir dari pemahaman.


Komentar

Tulisan Populer

Apa Beda Suka, Senang, dan Cinta?

Apa beda suka, senang, dan cinta? Selama anda masih belum bisa membedakan ketiga hal itu, maka anda akan salah dalam memaknai cinta. Saya ilustrasikan dalam cerita, Anda membeli hp Android karena melihat banyak teman-teman yang memilikinya dan terlihat keren, saat itu anda berada di wilayah SUKA. Dan suka merupakan wilayah NAFSU. Ketika anda mengetahui fitur, fasilitas dan manfaat Android yang lebih hebat dibandingkan HP jenis lain, maka saat itu anda berada diwilayah SENANG. Dan senang itu tidak menentu, dapat berubah-ubah tergantung kepada MOOD. Saat BOSAN, bersiaplah untuk mengganti HP jenis baru yang lebih canggih. Jadi jelaslah bahwa, Selama ini CINTA yang kita yakini sebagai cinta baru berada dalam wilayah SUKA dan SENANG. BOHONG! Jika anda berkata, gue JATUH CINTA pada pandangan pertama. Sesungguhnya saat itu anda sedang berkata, gue NAFSU dalam pandangan pertama. Mengapa demikian? Karena cinta yang anda maknai baru sebatas SUKA. Suka dengan wajahnya yang cantik, se...

Benturan antara Idealisme dan Realitas

Sendy, sosok aktivis pergerakan mahasiswa yang idealis dan bertanggung jawab dalam memegang amanah di organisasinya. Dalam aksi, dia sering menjadi koordinator lapangan, mempimpin aksi. Mulai dari kebijakan kampus hingga kebijakan pemerintah daerah dan pusat yang tidak memihak kepada rakyat maka Sendy pasti membelanya dengan mengadakan aksi jalanan. Kata-kata yang terlontar dari mulutnya saat orasi, seolah menghipnotis yang mendengarnya, karena di bawakan dengan semangat dan mampu menggerakan massa dengan baik. Selang 6 tahun, saat ia meninggalkan kehidupan kampus dan menjadi pengusaha. Sendy menjadi opportunis dan pragmatis. Mengapa? Karena uang lah yang menjadi segalanya, dan kepentingan lah yang menjadi prioritasnya. Bukan karena lupa nya idealisme yang ia pegang selama ia jadi mahasiswa, namun semuanya berubah ketika uang berbicara. Apalagi saat ini Sendy telah berkeluarga dengan Fenny, aktivis pergerakan mahasiswi yang satu organisasi dengannya. Sendy dan Fenny memiliki 3 ora...