Begitulah kami sering berpura pura. Berpura pura agar di anggap ini dan itu. Apalagi kalau di media sosial, seolah jadi menu wajib untuk mengunduh kepura puraan. Seperti saat foto selfie, pasti segenap kemampuan akan di keluarkan agar terlihat ganteng atau cantik, bermula dari pura pura senyum bahagia meski pada saat bersamaan sedang menyimpan rasa galau. Begitupun dengan pose yang di atur sedemikian rupa supaya nampak seperti artis cover majalah ternama, tentu bukan gaya foto cover yasinan.
Di sisi lain kepura puraan ini terkadang perlu. Dikatakan penting sebab bukan termasuk kategori wajib dan penting. Perlu di saat sandal hilang seusai shalat jumat, seketika itu berpura pura dengan mengambil sendal orang lain seolah milik sendiri tanpa merasa berdosa. Bisa juga saat kentut di depan umum maka berpura pura kebauan, menuduh kawan sebelahnya kentut adalah cara mudah terlepas dari dakwaan pelaku kentut. Ada lagi saat nembak pacar atau melamar wanita, saat di tolak maka berpura pura menerima dengan ikhlas dan sabar merupakan acting yang cukup sempurna ketimbang harus nangis bombay sambil menggalau. Gampangnya, pura pura pun dapat berdaya gunakan untuk kebaikan diri sendiri.
Mungkin harus ada pelatihan manajemen pura pura agar setiap individu dapat ahli dan cerdas menggunakan kepura puraan ini dalam mengadapi segala problematika hidup ini. Dimana alumni pelatihan pura pura ini dapat pura pura di mana pun dan kapan pun.
Cilegon, 9 oktober 2015
Roby Martin
Komentar
Posting Komentar