Langsung ke konten utama

Postingan

Untung Bukan Pengurus Partai

Pagi itu, Karno memandangi layar ponsel dengan wajah masam. Di berandanya, wajah Danu terpampang jelas dalam foto—berdasi merah, tersenyum bersama deretan petinggi partai. Caption-nya berbunyi: “Bersama kawan seperjuangan, saatnya berbuat nyata lewat jalur politik.” “Lucu,” gumam Karno. “Dulu katanya politik itu najis.” Ia meneguk kopi sachet yang sudah dingin. Tangannya gemetar sedikit—bukan karena kafein, tapi karena kenangan yang tiba-tiba muncul: Danu yang dulu duduk di serambi masjid kampus, berapi-api bicara tentang amar makruf nahi mungkar, tentang menjaga kemurnian dakwah dari urusan dunia. Sekarang, Danu itu duduk di kursi kekuasaan. Siangnya, mereka bertemu di warung soto depan kantor kelurahan. Kebetulan, atau mungkin takdir yang gemar bercanda. Danu datang dengan mobil partai, Karno dengan motor tuanya yang berasap. “Karno!” seru Danu, senyum lebarnya seperti spanduk kampanye. “Lama nggak ketemu, Danu,” jawab Karno datar. Mereka duduk berhadapan. Awalnya basa-basi—tentang h...

Feodalisme di Lingkungan Pesantren: Antara Hormat dan Taklid Buta

Dalam beberapa dekade terakhir, pesantren sering dipuji sebagai benteng moral bangsa—tempat menimba ilmu agama sekaligus menempa akhlak. Namun, di balik keteduhan kehidupan santri yang tampak patuh dan berdisiplin, ada satu persoalan yang jarang dibicarakan secara terbuka: budaya feodalisme di lingkungan pesantren. Feodalisme ini muncul ketika penghormatan terhadap kyai atau ustadz berubah menjadi bentuk ketaatan absolut, tanpa ruang bagi santri untuk berpikir kritis atau berdialog terbuka. Dalam sistem tradisional pesantren, kyai dianggap sebagai sosok yang suci dan tak pernah salah. Segala ucapan dan perintahnya diterima sebagai kebenaran mutlak. Santri yang berani bertanya bisa dicap kurang ajar, dan yang mengkritik bisa dianggap durhaka. Akibatnya, suasana intelektual yang seharusnya tumbuh dalam semangat tafaqquh fiddin—mendalami agama dengan akal dan hati—malah tenggelam oleh budaya hierarki dan kepatuhan membabi buta. Padahal, Islam sendiri menekankan pentingnya berpikir dan men...

Membersamai Ketika Sakit

Malam ini, lampu rumah sakit seperti mata-mata yang tak pernah tidur. Aku duduk di kursi plastik, menjaga istri yang baru saja keluar dari operasi kista. Semua terasa pelan—detak infus, nafasnya yang berat, sampai degup jantungku sendiri. Tidak ada keluarga yang datang. Tidak ada saudara yang menjenguk. Semua memang atas pilihanku. Aku tidak ingin ada wajah-wajah khawatir yang justru membuat beban semakin berat. Biarlah hanya aku yang tahu, betapa rapuhnya ia saat ini. “Papah, haus…” katanya lirih. Aku buru-buru mendekat, menyodorkan sedotan ke bibirnya. Tangannya gemetar, matanya sayu. Dan di momen itu, aku merasa seperti anak kecil yang ingin menangis tapi harus kuat. Sepanjang malam aku belajar jadi perawat, jadi penjaga, jadi teman bicara, bahkan jadi bantal untuknya bersandar. Kadang tubuhku protes—pinggang nyeri, mata perih karena kurang tidur. Tapi aku tetap di sini. Bagaimana mungkin aku pergi, sementara ia berjuang menahan sakit? Sesekali ponselku bergetar, pesan masuk dari te...