Pagi itu, Karno memandangi layar ponsel dengan wajah masam. Di berandanya, wajah Danu terpampang jelas dalam foto—berdasi merah, tersenyum bersama deretan petinggi partai. Caption-nya berbunyi: “Bersama kawan seperjuangan, saatnya berbuat nyata lewat jalur politik.” “Lucu,” gumam Karno. “Dulu katanya politik itu najis.” Ia meneguk kopi sachet yang sudah dingin. Tangannya gemetar sedikit—bukan karena kafein, tapi karena kenangan yang tiba-tiba muncul: Danu yang dulu duduk di serambi masjid kampus, berapi-api bicara tentang amar makruf nahi mungkar, tentang menjaga kemurnian dakwah dari urusan dunia. Sekarang, Danu itu duduk di kursi kekuasaan. Siangnya, mereka bertemu di warung soto depan kantor kelurahan. Kebetulan, atau mungkin takdir yang gemar bercanda. Danu datang dengan mobil partai, Karno dengan motor tuanya yang berasap. “Karno!” seru Danu, senyum lebarnya seperti spanduk kampanye. “Lama nggak ketemu, Danu,” jawab Karno datar. Mereka duduk berhadapan. Awalnya basa-basi—tentang h...