Langsung ke konten utama

Postingan

Pejabat Digaji 100 Juta Sambil Joget-Joget

Kadang aku nggak habis pikir. Pejabat digaji 100 juta sebulan, fasilitas segalanya lengkap, sementara rakyat disuruh hemat, disuruh bayar pajak, disuruh “sabar demi negara”. Rasanya kayak lagi ngelihatin orang kaya raya makan enak di meja panjang, lalu kita dikasih tulang dan dibilang, “udah syukuri aja, ya.” Aku lihat berita anggota dewan joget-joget, ketawa-ketawa, seolah nggak ada masalah. Padahal di luar gedung megah itu, ada bapak-bapak bingung nyari uang buat beli beras, ada ibu-ibu yang rela ngutang demi bayar sekolah anaknya, ada anak-anak tidur dengan perut kosong. Sakit banget lihat kontrasnya. Kita disuruh patuh aturan, disuruh nurut bayar pajak. Tapi uang pajak itu sering nggak balik ke rakyat. Malah habis buat gaji dan fasilitas mereka yang sudah hidup mewah. Apa mereka pernah benar-benar mikirin gimana rasanya rakyat kecil bertahan di harga-harga kebutuhan yang terus naik? Jujur, aku capek dengar kata-kata manis: “demi kepentingan bangsa, mari kita berhemat.” Karena fakta...

Ingatan Masa Lalu

Ada ingatan-ingatan yang datang seperti bayangan hujan di sore hari. Bukan untuk menenangkan, tapi meninggalkan basah yang dingin di dalam dada. Ingatan masa lalu yang getir: pengkhianatan, kehilangan, atau sekadar keputusan bodoh yang pernah kita buat. Ia menempel di kepala seperti noda yang tak bisa dicuci. Dulu, aku sering bertanya, mengapa harus terus mengingat? Mengapa yang buruk selalu lebih melekat dibanding yang indah? Tapi mungkin begitulah cara hidup mendidik kita. Ingatan yang menyakitkan itu, ternyata, adalah semacam peringatan. Ia menyimpan pesan: “Hati-hati. Jangan ulangi lagi.” Seperti api kecil yang pernah membakar jari, ia membuat kita lebih pelan ketika mendekati bara. Seperti luka yang pernah menganga, ia membuat kita lebih pandai membalut perasaan sebelum berdarah lagi. Ingatan itu, meski pahit, justru menyelamatkan kita di masa depan. Aku mulai belajar menerima, bahwa masa lalu yang buruk tidak sekadar kutukan. Ia bisa berubah menjadi cahaya redup yang menuntun lan...

Aktivis Dakwah yang Berubah menjadi Kaum Liberal

Jadi gini. Hidup itu lucu. Dulu, waktu kuliah, Bima adalah definisi role model versi dakwah kampus: ngomongnya berat, jalannya lurus, dan kalau marah matanya bisa bikin mading rohis bergetar. Dia hafal ayat, hafal orasi, dan hafal nama semua tokoh pergerakan Islam abad 20. Pokoknya, kalau ada “serangan pemikiran” di kampus, dia yang maju duluan. Sekarang? Ya Tuhan. Yang tersisa dari “pejuang akidah” itu cuma akun Instagram dengan bio: Freedom is my only religion. Postingannya? Seperti kuliah filsafat yang ditulis anak magang—nggak jelas, tapi banyak yang merasa keren. Dia pernah nulis, “Tuhan mungkin mati, tapi kopi susu dan rokok linting akan selalu hidup.” Lalu upload foto dirinya di bar, lengkap dengan ekspresi look at me, I’m profound. Aku nggak tahu kapan tepatnya dia pindah keyakinan—atau pindah kesetiaan. Katanya sih, semua berawal waktu kerja di NGO internasional, ketemu orang-orang liberal dari lima benua. Dari situ, Bima mulai “melepaskan” semua beban moral kampus. Katanya, h...