Langsung ke konten utama

Postingan

Negara Ganti Kebijakan, Aku Tetap Makan

“Apa? Pajak naik lagi?!” Suara Pak Joni menggema di warung pecel lele. Aku menyesap teh hangat, malas menanggapi. “Dulu dibilang nggak bakal ada pajak tambahan, eh sekarang malah dinaikkan! Giliran rakyat kecil yang kena lagi,” lanjutnya sambil menyumpah-nyumpah. Aku mengaduk nasi, menghela napas pelan. Sudah biasa. Pemerintah bikin aturan, rakyat marah, lalu tetap hidup seperti biasa. Besok harga cabe bisa naik, orang-orang akan lupa pajak dan mulai ngomel soal tukang sayur. “Mas, menurutmu gimana?” Pak Joni menatapku, menunggu dukungan. Aku mengunyah dulu, lalu berkata, “Mau marah juga nggak bikin perut kenyang, Pak.” Dia mengernyit. “Maksudnya?” Aku menaruh sendok. “Negara ini sudah kayak cuaca. Hari ini panas, besok hujan, lusa entah badai atau kemarau. Mau ngeluh terus juga nggak bakal bikin hidup lebih enak.” Pak Joni mendengus. “Tapi kita rakyat kecil harus bersuara!” Aku mengangguk. “Benar. Tapi setelah suara kita didengar, lalu apa? Kita tetap harus kerja, tetap harus ...

Mungkin Pencarianku Tidak Perlu Diteruskan

“Apa kamu sudah menemukan yang paling benar?” tanya Wawan sambil menyeruput kopinya. Aku terdiam. Sudah seminggu ini aku sibuk membaca, menonton ceramah, dan bertanya ke sana kemari. Tapi semakin banyak yang kudengar, semakin bingung aku dibuatnya. "Ahlussunnah wal Jamaah yang paling benar!" kata seorang ustadz di YouTube. "Tidak! Kembali ke Quran dan Sunnah tanpa bid’ah, itulah yang benar!" sergah yang lain. "Kalian semua sesat! Yang benar cuma kami!" suara seorang dai garis keras memenuhi pikiranku. Aku mengacak rambut. "Kenapa semuanya merasa paling benar, ya?" gumamku. Wawan terkekeh. “Gus Dur pernah bilang, ‘Agama itu bukan untuk saling menyalahkan, tapi untuk saling memahami.’” Aku mendongak. “Jadi?” “Jadi, ya sudah, ibadah saja yang benar. Kalau ujungnya cuma debat tanpa akhlak, buat apa?” Wawan mengangkat bahu. Aku menghela napas panjang. Dalam pencarianku, aku terlalu sibuk bertanya siapa yang paling benar, sampai lupa bertanya:...

Tuhan dan Logika yang Tidak Tuntas

"Kalau Tuhan memang ada, kenapa dia membiarkan penderitaan terjadi?" Suara Damar memenuhi ruangan kecil itu. Tangannya memegang rokok yang sudah hampir habis, asapnya mengepul ke langit-langit kamar kos. Aku menatapnya sebentar, mencoba mencari jawaban yang tidak klise. "Karena mungkin Tuhan bukan tentang menghentikan penderitaan, tapi tentang memberi kita keberanian untuk melewati semuanya," jawabku pelan. Damar tertawa kecil, suara cemooh yang lebih terdengar seperti keputusasaan. "Klise banget. Jadi menurut lo, Tuhan cuma alasan manusia buat nggak ngerasa sendirian? Semacam penghiburan?" Aku terdiam. Apa salahnya jika memang begitu? Damar melanjutkan, "Gue rasa, Tuhan itu kayak jawaban ujian yang kita nggak tahu. Kalau lo nggak ngerti soal, lo tinggal nulis ‘Tuhan’ aja, beres." Pikiranku melayang pada malam-malam panjang yang pernah kulewati. Waktu aku kehilangan pekerjaan, dihantam kenyataan hidup yang kejam, aku memang mencari Tuhan—bukan ka...