Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2025

Tuhan dan Logika yang Tidak Tuntas

"Kalau Tuhan memang ada, kenapa dia membiarkan penderitaan terjadi?" Suara Damar memenuhi ruangan kecil itu. Tangannya memegang rokok yang sudah hampir habis, asapnya mengepul ke langit-langit kamar kos. Aku menatapnya sebentar, mencoba mencari jawaban yang tidak klise. "Karena mungkin Tuhan bukan tentang menghentikan penderitaan, tapi tentang memberi kita keberanian untuk melewati semuanya," jawabku pelan. Damar tertawa kecil, suara cemooh yang lebih terdengar seperti keputusasaan. "Klise banget. Jadi menurut lo, Tuhan cuma alasan manusia buat nggak ngerasa sendirian? Semacam penghiburan?" Aku terdiam. Apa salahnya jika memang begitu? Damar melanjutkan, "Gue rasa, Tuhan itu kayak jawaban ujian yang kita nggak tahu. Kalau lo nggak ngerti soal, lo tinggal nulis ‘Tuhan’ aja, beres." Pikiranku melayang pada malam-malam panjang yang pernah kulewati. Waktu aku kehilangan pekerjaan, dihantam kenyataan hidup yang kejam, aku memang mencari Tuhan—bukan ka...

Aliran Islam Mana yang Paling Benar?

"Ustaz, aliran Islam mana yang paling benar?" tanya seorang pemuda berkopiah putih di tengah majelis. Suasana pengajian mendadak hening, hanya suara kipas angin tua yang terdengar. Ustaz itu tersenyum tipis, menarik napas panjang sebelum menjawab, "Tentu aliran yang saya ajarkan ini. Karena inilah jalan yang lurus, satu-satunya yang akan menyelamatkan kalian di akhirat nanti." Aku, yang duduk di barisan belakang, mengerutkan kening. Jawaban itu terasa mutlak, seperti menutup ruang bagi pemikiran lain. Aku teringat ceramah Quraish Shihab yang kutonton di televisi seminggu lalu. Ketika mendapat pertanyaan serupa, beliau menjawab dengan tenang, "Semua boleh jadi benar, karena manusia hanya berusaha memahami Tuhan lewat keterbatasan mereka." Setelah pengajian selesai, aku mendekati pemuda tadi. "Apa menurutmu jawaban ustaz tadi masuk akal?" tanyaku. Dia menatapku dengan mata berbinar, penuh keyakinan. "Tentu saja, Mas. Kalau nggak percaya sama u...

Bayangan di Cermin

"Dia cuma beruntung!" seru Reza, mematikan video YouTube yang menampilkan Fikri, teman lamanya, sedang diwawancarai sebagai pengusaha sukses. "Kalau dulu gue dapet peluang kayak dia, gue juga bisa kayak gitu!" Reza bersandar di kursinya, menatap layar laptop yang kosong. Di kepalanya, bayangan masa lalu berputar. Fikri dulu hanya anak biasa di kampus, tidak menonjol, sering pinjam catatan, bahkan sering diejek. Dan sekarang? Dia jadi bintang, dengan mobil mewah dan bisnis yang disebut-sebut inspiratif. Reza membuka media sosial Fikri. Ia memindai foto-foto sukses itu dengan pandangan sinis. "Ah, siapa juga yang nggak bisa kalau modalnya gede!" gumamnya. Dalam pikirannya, ia yakin bahwa Fikri tidak sehebat itu—hanya kebetulan berada di tempat dan waktu yang tepat. Namun, semakin ia mencari celah untuk menjelekkan Fikri, semakin ia merasa kecil. Setiap foto dan video yang dilihatnya menjadi pengingat akan keputusan-keputusan yang ia lewatkan. Malam itu, Reza...

Sadar Realitas

Realitas adalah apa yang kita alami saat ini; detik yang nyata dan terasa di depan mata. Namun, manusia sering kali absen dari momen tersebut. Pikiran kita melayang ke masa lalu yang penuh penyesalan atau ke masa depan yang penuh kekhawatiran. Akibatnya, kita tidak benar-benar hadir dalam hidup yang sedang terjadi. Ketika makan, sering kali kita terjebak memikirkan tugas yang belum selesai. Saat bersama teman, pikiran malah sibuk mengurai masalah yang belum tentu penting. Akhirnya, momen-momen berharga berlalu tanpa kita nikmati. Kita sering terjebak dalam kebiasaan overthinking, menciptakan kesulitan yang sebenarnya tidak ada. Narasi kehidupan yang kita bangun sering kali terlalu rumit. Kita lupa bahwa hidup, pada dasarnya, adalah serangkaian momen sederhana. Ketenangan tidak berasal dari menyelesaikan semua masalah, tetapi dari kemampuan untuk benar-benar hadir di saat ini. Dengan melambat dan fokus pada momen sekarang, kita dapat melihat keindahan yang ada di sekitar: rasa makanan, ...

Bayang-Bayang Ketakutan

Takut adalah bayangan yang seringkali lebih besar dari kenyataan. Ia lahir dari ketidaktahuan, membayangi pikiran kita dengan kemungkinan-kemungkinan yang bahkan belum terjadi. Kita hidup di bawah bayang-bayang rasa takut: takut gagal, takut kehilangan, takut menghadapi hal-hal yang tidak kita mengerti. Namun, sesungguhnya, ketakutan itu sendiri tidak nyata. Ia hanya ilusi yang dipelihara oleh pikiran kita yang terlalu terbiasa dengan ketidakpastian. Bayangkan saat kamu kecil, takut pada kegelapan. Dalam gelap, bayangan menjadi monster, suara kecil menjadi ancaman. Tapi, saat lampu dinyalakan, kamu menyadari bahwa tidak ada apa-apa. Gelap itu netral; ketakutanmu adalah proyeksi dari pikiranmu. Begitu pula hidup. Ketika kamu mulai memahami apa yang membuatmu takut, kamu akan menyadari bahwa ketakutan itu hanyalah refleksi dari ketidaktahuanmu. Namun, memahami tidak mudah. Ini bukan soal menemukan jawaban instan, tapi soal keberanian untuk melihat ketakutanmu dari dekat, mempelajarinya t...

Logika tentang Tuhan

Dalam memahami Tuhan, manusia sering terjebak pada dikotomi antara iman dan logika. Sebagian menerima Tuhan sebagai dogma yang tak perlu dipertanyakan, sementara yang lain menolak keberadaan-Nya karena tak terukur oleh sains. Tuhan, dalam pendekatan rasional, bukanlah entitas yang dapat dijelaskan melalui mistik atau keajaiban semata. Ia adalah konsep yang lahir dari kebutuhan manusia untuk memahami apa yang tak terpahami. Dalam sejarahnya, manusia menciptakan Tuhan sebagai jawaban atas fenomena alam yang dulu sulit dinalar. Petir, hujan, kelahiran, kematian—semua itu dikaitkan dengan kekuatan adikodrati. Namun, seiring berkembangnya sains, penjelasan rasional menggantikan sebagian dari "mukjizat" ini. Namun, apakah berarti Tuhan tidak ada? Tidak sesederhana itu. Tuhan tetap menjadi simbol perjuangan manusia untuk memahami makna hidup. Ia adalah ide yang terus berkembang, mengikuti kemampuan akal manusia. Konsep Tuhan tidak boleh digunakan untuk membatasi pemikiran, melainkan...

Perjalanan Tanpa Nama

“Jadi, kamu nggak percaya Tuhan?” tanya Raka sambil menyeruput kopinya. Pertanyaan itu datang tiba-tiba, tanpa aba-aba, seperti petir di siang bolong. Aku hanya tersenyum kecil, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Di dalam café kecil di pinggir Jakarta, obrolan semacam ini terasa terlalu besar. “Bukan nggak percaya, Rak,” jawabku akhirnya. “Aku cuma nggak tahu agama mana yang benar-benar sesuai untukku.” Raka mengangguk, tapi aku tahu dia tidak benar-benar paham. Aku menatap layar laptopku yang penuh dengan artikel-artikel spiritual, filsafat, dan kisah-kisah pencarian makna. “Kamu agnostik?” desaknya lagi. “Bukan,” jawabku tegas. “Aku nggak sibuk mikir ada Tuhan atau nggak. Aku lebih fokus ke apa yang membuat hidup ini bermakna.” Dia tertawa kecil, mungkin mengejek atau mungkin hanya karena dia tidak tahu harus berkata apa. “Kayaknya kamu bagian dari The Nones, ya? Orang-orang yang nggak ikut agama, dengan tetap nyari makna dan harmoni hidup.” Aku terdiam, merenung sejenak. Mungkin...