Langsung ke konten utama

Postingan

Emang Gue Pikirin Pendapat Orang Lain?!

Pernah nggak sih kita terlalu sibuk memikirkan apa kata orang? Kita hidup di tengah jutaan kepala yang masing-masing punya isi sendiri—dan semuanya merasa perlu bicara. Ada yang nyuruh ke kiri, yang lain bilang ke kanan. Hasilnya? Kita malah mandek di tengah jalan, bingung harus kemana. Saya sendiri pernah ada di titik itu: terlalu banyak suara, terlalu banyak nasihat, terlalu banyak arahan. Katanya demi kebaikan, tapi ujung-ujungnya malah bikin kita menjauh dari apa yang sebenarnya kita inginkan. Kita makin jauh dari pusat diri kita sendiri—bahkan lupa, dulu kita maunya apa sih? Ibu punya harapan sendiri. Ayah mungkin mau yang berbeda. Temanmu punya pandangan lain. Pasanganmu pun begitu. Kalau semuanya kita turuti, kita cuma jadi persimpangan jalan. Diam di tempat. Nggak ke mana-mana. Lalu apa? Ya, mulai diam. Dengarkan suara dari dalam. Bukan yang di luar, bukan yang di medsos, bukan yang katanya paling tahu arah hidupmu. Tapi yang benar-benar datang dari ruang sunyi di dalam dirimu ...

Puasa Bisu Media Sosial

Beberapa waktu belakangan, saya mulai jarang update status di media sosial. Bukan karena nggak punya cerita atau hidup saya tiba-tiba datar-datar saja, tapi karena saya merasa butuh diam. Puasa, bukan dari makanan, tapi dari hasrat ingin dilihat, ingin dikomentari, ingin eksis. Ternyata, dampaknya nggak main-main. Saya jadi lebih bisa mengendalikan diri atas apa yang benar-benar perlu dibagikan ke publik, dan mana yang cukup jadi milik pribadi. Dulu, rasanya gatal banget kalau habis makan enak nggak di-story-in, kalau habis jalan-jalan nggak upload foto. Tapi sekarang, saya mulai ngerasa: nggak semua hal harus diumumkan. Ada kenikmatan tersendiri dalam menyimpan sesuatu hanya untuk diri sendiri. Seperti menyimpan surat cinta dalam laci, bukan buat dibaca orang lain, tapi biar hati ini punya ruang yang nggak bisa disentuh siapa-siapa. Puasa media sosial ini juga ngajarin saya soal privasi. Bukan sekadar menutup diri, tapi memilih dengan sadar: mana yang pantas jadi konsumsi publik, dan ...

Menyembah Tuhan yang Tak Bisa Diserupakan oleh Apapun

Katanya, Tuhan itu tidak bisa diserupakan oleh apapun. Tidak ada gambar, bentuk, suara, rasa, bahkan konsep yang bisa mewakilinya. Tapi kalau benar begitu, bukankah artinya Tuhan justru tidak ada? Karena dalam pengalaman manusia, hanya yang tidak ada lah yang tidak bisa diserupakan sama sekali. Kita bisa membayangkan segalanya—bahkan yang belum pernah kita lihat—tapi ketika diminta membayangkan Tuhan yang benar-benar "tak menyerupai apapun", pikiran kita kosong. Dalam logika filsafat, segala yang eksis bisa dikenali, dibedakan, dan diberi ciri, walau sekadar abstraksi. Tapi kalau Tuhan tak bisa dipegang oleh rasio, tak bisa diindra, tak bisa digambarkan, lalu bagaimana kita tahu Ia ada? Bukankah dalam relasi manusia, pengenalan adalah fondasi keberadaan? Oke, mungkin akan ada yang bilang, “Tuhan itu bukan objek yang bisa dikenali, Ia itu misteri.” Tapi bukankah terlalu mudah melemparkan segala yang tak bisa dijelaskan ke dalam kotak "misteri"? Osho pernah bilang, “T...